Dengan tekad yang bulat, Angraeni memantapkan hatinya untuk menemui langsung sang raden dan menyampaikan tujuan hatinya. Surya telah kembali ke peraduan meninggalkan Angraeni yang berjalan dalam gelapnya malam dengan ditemani rembulan putih. Angraeni melangkah sendirian di Astana Mandala yang luas itu bersama bunyi jangkrik dan gesekan daun diterpa angin. Langkahnya lugas dan tegas, menandakan bahwa ia tidak akan mundur lagi atau mengurungkan niatnya. Dari kejauhan, Angraeni menemukan figur sang raden yang tengah membaca di pendopo bersantai yang letaknya tepat di depan kamar pria itu. Angraeni meneruskan langkahnya dengan tatapan optimis dan berhenti ketika ia berada tepat di depan tangga menuju panggung pendopo.
Sang raden menaikkan wajahnya hingga kini tatapan mereka beradu. Angraeni menurunkan tubuhnya hingga berlutut di depan tangga. Dengan sikap sopan yang sempurna atas ajaran Yu Siti dan teguran keras Nyai Segara, Angraeni berjalan jongkok, menghadap dang raden. Panji menumpukan dagunya tanpa melepaskan tatapannya dari figur feminin nan mungil Angraeni. Perempuan itu tampak jelita dengan rambut yang dikepang tunggal dan berhiaskan bunga kantil serta melati. Kebaya kuning muda serta jarik cokelat tampak serasi dengan kulit sawo matangnya yang manis.
"Tidak biasanya Angraeni-ku mengunjungi Mas-nya ini tanpa perlu dipanggil," sindir Panji dengan senyuman tipis merayunya.
Angraeni menghentikan jalan jongkoknya dan memposisikan tubuhnya untuk duduk bersimpuh. Ia mengatupkan tangannya di depan hidung dan memberi salam. Panji semakin tertarik melihat gestur dan gerak-gerik Angraeni yang penuh dengan kesopanan. "Ada apa gerangan, Kasih-ku?" gumam Panji dengan nadanya yang begitu lembut dan tenang.
"Angraeni menghadap karena ada permintaan yang ingin Angraeni sampaikan," ucap Angraeni sambil mengangkat dagunya dan menatap langsung mata sang raden.
"Apa itu, Diajeng?" tanya Panji perlahan dengan tatapannya yang menyimak.
"Angraeni ingin kembali ke Jogjakarta bersama Rama," ucap Angraeni dengan kesungguhan hatinga. Tatapan keduanya kembali terpaut. Yang satu penuh keyakinan dan yang lain perlahan berubah menjadi datar. Panji menghela napas pelan sembari kembali membaca bukunya dengan ekspresi tidak tertarik.
"Namun, Angraeni ketahui pasti jika Angraeni belum memenuhi janji pada Mas untuk menemukan atmanjiwa yang sesuai dengan kesepakatan kita. Karena itu, Angraeni menghadap untuk menyatakan jika Angraeni sudah siap mencari dan menemukan atmanjiwa yang Anda..."
"Siap?" potong Panji dengan dengusan meremehkannya. Panji tetap memakukan tatapannya pada buku yang ia pegang, tanpa repot-repot menatap Angraeni sedikit pun.
"Pembelajaran yang Nyai Segara berikan sudah Angraeni kuasai..."
"Apa dia mengatakan kamu sudah siap, Ni?" potong Panji dengan tatapan seriusnya pada Angraeni.
Angraeni sontak terdiam dengan lidahnya yang kelu. "Angraeni rasa Nyai Segara masih belum..."
"Jawabannya hanya 'sudah' dan 'belum', Diajeng." Meskipun nada bicara pria itu tetap lembut seperti sebelumnya, tetapi Angraeni bisa merasakan ada ketajaman dan cemooh di dalam sana.
Angraeni kehabisan kata-katanya. Bibirnya gemetar. Ia meremas tangannya. "T-tapi, Mas..."
"Entah darimana kamu mendapatkan kepercayaan seperti itu," balas Panji sambil mengangkat kepalanya dengan senyuman miring di wajahnya.
"A-Angraeni merasa sudah cukup baik untuk mencari atmanjiwa itu," tutur Angraeni dengan tatapan tak gentarnya. "Biarkan Angraeni mencoba. Jika sesuatu terjadi, maka biarlah itu menjadi tanggung jawab Angraeni."
"Terdengar gegabah, naif dan egois," gumam Panji sebelum tiba-tiba bangkit dari posisinya. Panji melangkah gontai ke arah Angraeni. Tatapan Angraeni terus mengawasi setiap pergerakan sang raden dengan penuh kewaspadaan. Sang raden dengan sengaja menyilangkan tangannya di belakanv tubuhnya sendiri, seolah menunjukkan kekuasaan dan teritorinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...