15. Masa lalu si kembar

1.1K 172 3
                                    


.
.
.
.
.
Rain membiarkan Noah melampiaskan amarahnya dengan memaki Axel, Rain bisa merasakan jika kali ini Axel pasti mengatakan hal yang keterlaluan.

"Bangsat pisan si budak ogoan èta! (Sialan itu anak manja!)"

"Masih untung manèhna dibageuran kènèh ku arurang! (Masih untung kita semua mau baik sama dia!)"

"Piraku salila ieu si Papa teu pernah ngajarkeun dewasa ka manèhna? (Apa selama ini papa gak pernah ngajarin dia dewasa?!)"

"Jadi budak teh kabisana ngan nèangan masalah waè! (Jadi anak kok bisanya cari masalah aja!)"

"Sialan!"

"Bangsat!"

Rain hanya diam, bahkan saat Bagas masuk ke kamar mereka pun Rain hanya mengangguk.

"Noah." Noah memejamkan matanya saat mendengar suara lembut Bagas.

"Ulah jiga kitu deui ah, bunda teu pernah ngajarkeun jiga kitu ka sodara. (Jangan gitu lagi, bunda gak pernah ngajarin kita kayak gitu ke saudara.)" Bagas mengelus pundak Noah pelan, mencoba menenangkan emosi saudara kembarnya itu.

"Tapi manèhna tèh kurang ajar a, si èta teu pernah mikir jeung ngomong sangeunahna jiga kitu. (Tapi dia kurang ajar a', dia gak pakai mikir dan ngomong seenaknya kayak gitu!)" Bagas mengangguk paham, dia juga marah, tapi dia salah satu yang tertua disini, dia tidak bisa ikut meluapkan emosi seperti Noah.

"Aa' tau, tapi kumaha waè oge dia tèh sodara kita. Piraku bang Rain wae bisa sabar nyanghareupan si Axel, kamu henteu? (Aa' tau, tapi gimana pun dia saudara kita. Masa bang Rain aja bisa sabar menghadapi Axel, kamu gak?)" Noah beralih menatap Rain yang hanya duduk diam di kasurnya sambil menatap mereka.

"Maaf bang." Rain menatap bingung pada Noah yang tiba-tiba mengucap maaf.

"Maaf kenapa? Gak perlu minta maaf karena emosi kamu." Noah tersenyum tipis, ini lah kenapa dia nyaman sekamar dengan Rain.

"Bang Hujan, gue bisa cerita sama lo kan?" Rain mengangguk tanpa pikir panjang.

"Kalian bebas cerita apapun ke aku, aku pasti bakal dengerin kalian. Asal jangan pakai bahasa sunda, aku ndak paham."
.
.
.
.
.
Dua anak kecil berusia delapan tahun itu hanya bisa diam saat lagi-lagi mereka di ejek oleh teman-teman sekolah nya, sang kakak sebisa mungkin menahan sang adik agar tidak memukul anak-anak yang mengganggu mereka.

"Anak haram ... Anak haram!"

"Anak aneh ... Anak aneh ..."

"Kalian pasti bukan anak kandung, soalnya kata mama kembar itu lahir nya samaan."

"Iya, kata mama ku juga gitu, tapi kalian gak, kalian aneh!"

"Diem kalian!"

"Aku sama a' Bagas gak aneh! Kalian yang aneh!" Noah berteriak marah saat mendengar ejekan anak-anak itu.

"Bagas anak aneh ... Bagas anak aneh ..."

Bug

Bug

Bug

Noah yang marah segera melepaskan cekalan Bagas dan memukul anak-anak itu, beberapa yang sudah terkena pukulan langsung berlari pulang sambil menangis.

"Noah, gak boleh gitu. Nanti kalau kamu di marahin sama mama mereka gimana?" Noah tersenyum kecil.

"A' Bagas tenang aja, aku gak takut kok!"
.
.
.
Noah menangis dalam pelukan sang bunda, seragam putih biru nya tampak kotor dengan noda darah yang hampir mengering. Bukan, itu bukan darah Noah, tapi darah sang kakak, Bagas.

GranthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang