23. Gitar milik Rain

1K 185 12
                                    


.
.
.
.
.
Setelah tragedi gitar milik Noah beberapa hari lalu, Axel dilanda rasa bersalah, dia tidak menyangka jika gitar itu memiliki kenangan bagi Noah.

Hubungan Axel dengan Bagas yang semula sudah dingin sekarang justru semakin buruk, Bagas bukan hanya mendiamkan Axel, pemuda tinggi itu bahkan tidak menganggap Axel ada di rumah, kalau pun terpaksa harus berinteraksi maka Bagas akan menatap tajam pada Axel.

Bagas marah, tapi kemarahannya tidak bisa dia salurkan seperti Noah saat itu. Bagas hanya bisa diam dan menatap tajam, karena dia terbiasanya melakukan hal itu saat marah.

"Bagas." Bagas mengerjap saat mendengar suara Resta.

"Iya bang, ada yang perlu gue bantu gak?" Resta menggelengkan kepalanya.

"Gak perlu, udah kamu diem disini aja, atau mau nemenin Noah di kamar nya?" Bagas menghela nafas panjang.

"Bang, gue takut kalau Noah makin drop." Resta menatap lekat pada Bagas, naluri Bagas jauh lebih kuat di banding yang lain.

"Belum mau makan?" Bagas menggeleng pelan, terlihat jelas jika pemuda itu tengah berpikir berat.

"Noah bahkan gak mau ngomong apapun bang, apa gue harus telpon bunda ya?" Resta mengangguk.

"Jangan sekarang, besok aja, biarin Noah tenang dulu." Bagas mengangguk paham.

"Ini kedua kalinya gue liat Noah kayak gini bang, dan semuanya gara-gara Axel." Resta mengernyit namun tidak mengatakan apapun.

"Dulu sekali Noah pernah kayak gini, bahkan sampai harus masuk rumah sakit bang. Kejadiannya setelah kakek meninggal bang, Noah deket banget sama kakek dan waktu kakek meninggal papa dateng. Noah yang memang lagi sedih tentu aja seneng liat papa disana, dia bahkan ngelupain amarah dan rasa benci nya ke papa waktu itu." Resta hanya diam, membiarkan Bagas menyelesaikan ceritanya.

"Noah minta papa buat nemenin Noah disana lebih lama bang, bahkan mama juga minta hal yang sama ke papa dan papa udah setuju . Tapi belum ada sehari Axel udah telpon ke papa dan ngerengek supaya papa pulang saat itu juga, Noah tau dan marah, tapi papa anggep kemarahan Noah sepele bang, papa tetep pulang buat nemuin Axel, ninggalin Noah yang saat itu butuh figure papa." Resta mengelus lengan Bagas pelan, yang tertua tau jika adiknya itu tengah menahan emosi.

"Noah gak mau makan sama sekali saat itu bang, beruntung Noah masih mau minum saat itu. Selama seminggu gue sama bunda ngelihat Noah kayak gitu, sampai akhirnya Noah harus dibawa ke rumah sakit karena gak sadar bang, gue rasanya hancur saat itu, sedih, takut dan marah jadi satu."

"Gue ngusir papa waktu papa dateng ke rumah sakit, gue marah. Gue bilang papa pilih kasih, papa lagi mentingin anak haram itu daripada kita anak kandung nya yang sah, bahkan gue sempet bilang kalau sampai kapan pun gue gak bakal maafin papa." Resta menghela nafas panjang setelah Bagas selesai bercerita.

"Semoga Noah gak perlu ke rumah sakit kali ini, nanti kita coba bujuk Noah lagi ya, jangan khawatir Bagas, kamu punya gue sama Rain disini, kamu punya dua kakak sekarang." Bagas mengangguk pelan.

"Bantu gue bang, bantu gue buat bujuk Noah bang."
.
.
.
.
.
"Noah, makan dulu ya?" Bagas mencoba membuat Noah mau memakan sesuatu.

Sret

"Noah, please. Jangan buat gue khawatir kayak gini." Bagas kembali berucap saat Noah justru menutup tubuhnya dengan selimut.

"Noah, gue gak mau lo sakit, makan ya dikit aja." Bagas tidak menyerah, dia tetap mencoba meskipun hasilnya sudah terlihat.

Sudah lima hari tepat nya sejak Noah menolak segala makanan, dan seharian ini Noah juga tidak mau menyentuh air minum. Bagas sedih tentu saja, adik kembar nya ada di situasi seperti itu dan dia tidak bisa membujuk nya.

GranthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang