44. Kemarahan

1.1K 170 15
                                    


.
.
.
.
.
Kondisi Axel dan dan Rain tidak bisa dikatakan baik, tulang rusuk Axel retak karena di pukul secara membabi buta oleh Bima, sedangkan Rain harus terbaring koma karena kehilangan banyak darah.

Sepertinya kekuatan untuk menghajar Bima saat itu adalah kekuatan terakhir Rain, melihat bagaimana adiknya di hajar oleh Bima membuat jiwa nya sebagai seorang kakak tidak terima.

Kendra marah, namun tidak tau harus melampiaskan nya pada siapa, begitu juga Noah, Aidan, Bagas dan Resta. Karena Bima langsung di tangani oleh kepolisian yang ikut menyergap ke tempat penyekapan.

Axel kembali meminta maaf karena tidak bisa melindungi Rain saat itu, padahal dia baru saja sadar. Kendra tidak bisa marah pada Axel, karena dia tau jika Rain pasti tidak akan melakukannya. Noah juga tidak bisa marah pada Axel, karena Resta mengatakan jika Rain ada dalam pelukan Axel saat mereka menemukan keduanya.

"Bang Axel." Aidan menegur Axel yang lagi-lagi melamun sambil menatap ke arah jendela, Axel belum boleh bergerak dengan bebas karena tulang rusuknya yang retak.

"Bang." Axel akhirnya menoleh pada Aidan yang duduk di sebelah ranjang rumah sakit nya.

"Aidan."

"Hm?" Aidan mendekatkan dirinya pada Axel.

"Kenapa bang?"

"Bang Rain?" Aidan hanya menggeleng saat tau apa yang akan di tanyakan Axel.

"Maaf." Lagi-lagi Axel bergumam maaf, bahkan Aidan tidak bisa membuat Axel berhenti mengucap maaf.

"Ini bukan salah mu, kenapa kamu terus minta maaf?" Aidan menoleh dan menemukan Kendra sedang berdiri di ambang pintu.

"Bang Kendra." Kendra tersenyum pada Aidan dan mengelus kepalanya.

"Koe gak salah Xel, yang salah om Bima. Gak usah minta maaf, bang Rain mungkin masih capek, nanti juga bangun." Axel meneteskan air matanya saat Kendra mengatakan itu.

"Kalau kamu disini siapa yang jaga bang Rain?" Kendra kembali tersenyum.

"Ada bunda Fatma, di ruangan bang Rain gak boleh di masuki banyak orang." Axel semakin terisak saat mendengar hal itu.

"Ngapain nangis? Cengeng banget sih. Kondisi bang Rain semakin baik, kalau terus membaik sebentar lagi bang Rain bakal di pindah ke kamar rawat biasa, gak usah nangis."
.
.
.
.
.
Bian sedang mengusahakan supaya Bima mendapat hukuman yang paling berat, Bian tidak bisa melihat Rain terluka, itulah alasan nya dulu dia tidak ada di samping Rain.

"Papa." Bian menoleh saat Resta memanggilnya.

"Gimana?" Bian tau apa yang dimaksud Resta.

"Papa akan usaha kan dia dapat hukuman yang paling berat, kalau pun pengadilan tidak bisa memberinya hukuman berat maka papa sendiri yang akan menghukumnya." Resta mengangguk.

Pemuda itu juga memiliki pemikiran yang sama dengan Bian, bagaimana pun luka dan kesakitan adiknya harus bisa di balaskan tidak peduli apapun cara nya.

"Belum ada perkembangan dari Rain?" Resta menggeleng, saat ini keduanya ada di taman rumah sakit.

"Belum ada perkembangan berarti, tapi kondisi sudah semakin membaik. Jika dalam waktu dua puluh empat jam kondisi Rain tetap stabil, Rain akan di pindahkan ke kamar rawat biasa dan kita bisa menjaga nya dua puluh empat jam." Bian mengangguk.

"Axel?" Resta tersenyum.

"Axel sudah baik-baik saja meskipun belum boleh bergerak terlalu banyak." Bian tersenyum, dia bangga mempunyai Resta sebagai anak pertamanya.

"Kendra sama Axel udah baikan, Noah juga sepertinya udah mulai lunak ke Axel. Papa bisa fokus ke Rain setelah ini, urusan adik-adik yang lain biar jadi urusan Resta." Bian kembali tersenyum.

"Rasanya baru kemarin papa ajari kamu jalan, sekarang kamu bahkan sudah lebih bijak dari pada papa." Resta mengedikan bahu nya.

"Ya itu sih karena papa lebih fokus ke Axel dari pada anak-anak papa yang lain." Bian tersenyum sendu, ya memang itu adalah kesalahannya.

"Maafkan papa ya, maaf karena sempat membuat kalian merasa di acuhkan oleh papa." Resta mendengus pelan.

"Papa minta maaf ke yang lain aja, jangan ke Resta."
.
.
.
.
.
Kondisi Rain terus membaik meskipun pemuda itu belum juga sadar, saat ini Rain juga sudah di pindahkan ke ruang rawat yang sama dengan Axel agar mudah menjaga keduanya.

Tentu saja hal itu adalah permintaan pada ibu yang bahkan rela meninggalkan pekerjaan mereka untuk menjaga Rain dan Axel.

"Kendra, sini istirahat dulu, tidur di sebelah Gala sini." Salma memanggil Kendra yang tetap bertahan duduk di sebelah ranjang rumah sakit Rain.

"Bang Rain kapan bangun ma? Kendra kangen." Salma tersenyum sendu dan memeluk tubuh mungil Kendra.

"Bang Rain lagi istirahat, pasti dia capek udah ngeluarin tenaga buat hajar om Bima kemarin." Kendra mengangguk kecil dalam pelukan Salma.

"Ayo istirahat dulu, biar nanti kalau bang Rain bangun kamu gak keliatan lemes. Nanti bang Rain bakal nyalahin dirinya sendiri kalau kayak gitu." Kendra akhirnya menurut dengan Salma saat mendengar hal itu.

Benar, Rain akan menyalahkan dirinya sendiri saat melihat Kendra lemas, sakit atau sedih. Sejak kecil Rain tidak pernah suka melihat Kendra seperti itu, bagi Rain Kendra harus tetap tersenyum dan tertawa.

"Jangan khawatirin bang Rain, ada bunda sama mama yang jaga, habis ini papa, mama Nita sama yang lain juga bakal datang." Kendra kembali mengangguk dan memejamkan matanya. Elusan tangan lembut Salma di kepalanya membuat rasa kantuknya semakin besar.

"Tidur?" Salma mengangguk saat Fatma bertanya.

"Kendra anak yang kuat, dia bertahan bersama Rain hanya dengan Milia yang kita semua tau sangat keras." Fatma mengangguk mendengar ucapan Salma.

"Mbak Milia benar-benar bisa menjaga Rain dan Kendra dengan sangat baik, bahkan membuat mereka berdua tumbuh dengan hati setulus dan sesuci itu."
.
.
.
.
.
Axel tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Rain yang masih belum sadar, tatapannya sarat akan rasa bersalah.

"Bang Hujan gak akan suka kalau lo ngerasa bersalah kayak gitu." Ucapan Noah berhasil membuat Axel terkejut, karena setelah kejadian gitar itu Noah sama sekali tidak mau berbicara padanya.

"Gue udah maafin lo kalau lo mau tanya soal itu." Axel benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi, selama ini dia yang terlalu jahil tapi semua saudaranya masih mau memaafkannya.

"Ugh." Baik Noah dan Axel langsung beralih menatap Rain saat mendengar lenguhan pelan dari pemuda mungil itu.

"Bang Rain?" Noah dengan cepat menekan tombol darurat yang ada di atas ranjang Rain saat melihat mata Rain mengerjap pelan.

Noah keluar saat beberapa dokter dan perawat datang, sedangkan keluarganya tampak bingung dan panik di luar ruangan.

"Noah ada apa?

"Noah, kenapa dokter masuk kedalam?"

Noah hanya tersenyum simpul saan di berondong pertanyaan yang sama.

"Bang Rain sadar." Helaan nafas lega terdengar dari semua yang mendengar ucapan Noah.

"Setelah ini papa harus ceritain semuanya ke kita, apa yang ngebuat om Bima kayak gitu dan apa yang sebenarnya papa sembunyiin dari kami semua." Bian hanya mengangguk, mungkin sudah saat nya semua putranya tau tentang keluarga Malendra.

"Ya papa akan ceritakan semuanya pada kalian, bahkan alasan papa menikahi mama Nita juga." Resta menatap sang papa tajam, jujur saja dia hanya pernah mendengar cerita tentang keluarga Malendra dari sisi sang mama, belum seluruhnya.

"Resta harap apa yang akan kami dengar tidak mengecewakan."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat sore
Double up ya...
Penasaran gak sih?
Mau lanjut?

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

GranthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang