Ready For Love - 4

40.2K 1.7K 8
                                    

🌹🌹🌹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌹🌹🌹

IN DINING ROOM.

Hidangan makanan mewah yang beraneka ragam di atas meja begitu banyak dan sangat menggiurkan. Theo dan keluarganya tidak main-main dalam menjamu tamunya malam ini.

Namun, kebaikan Theo tidak serta merta ditelan mentah-mentah oleh Vero. Dia bingung kenapa keluarganya disambut sedemikian rupa. Dari awal dia curiga ada sesuatu yang direncanakan papanya dan Theo. She doesn't know if she's ready for this or not.

Tapi, daripada pusing mencurigai, dia lebih baik memuja makanan di depannya. Matanya kini berbinar, mulutnya mulai berair. Ada menu ayam bakar di atas meja. Aromanya menggugah selera makannya lebih besar. Karena segala jenis bangsa ayam yang diolah dengan cara apapun adalah makanan favorite Vero.

"CHICKEN!!" teriaknya tiba-tiba dengan nada kegirangan sambil mengangkat garpu dan sendok di tangannya. Teriakannya itu sudah pasti membuat kaget semua orang dan menoleh padanya.

Oh gosh! Alice yang duduk disebelah Vero sudah merutuki kakaknya yang tidak bisa menjaga sikap itu. Dia dengan senang hati memberi reward dengan cara menginjak kaki Vero sekuat tenaga supaya tau rasa.

"Aww.." rintih Vero yang langsung melirik Alice tajam. Tapi yang dilirik malah berpura-pura tidak tau dan sibuk tersenyum pada orang-orang yang ada disana. Vero ingin memaki tapi tidak jadi saat menyadari orang-orang masih menatapnya.

I embarrassed myself again. I am so pity.

"Hehe.. Maaf.." ucap Vero, canggung dengan cengiran terpaksa.

"Gapapa, cantik. Silahkan diambil makanannya untuk kita semua. Semoga menikmati hidangan sederhana yang tersedia," ujar Sarah sambil membalikkan piring lalu menyendokkan nasi ke atasnya.

Sederhana? Oh come on.

Elnino menggigit jarinya, dengan sabar menunggu Roy menyiapkan makanan untuknya. Dia anak penurut dan baik. Tidak rewel dan sangat tampan. Kalau kalian mau tau, Elnino tuh duplikat papanya. Wajah mereka sangat mirip. Jadi, secara tidak
langsung, Vero juga memuji Roy tampan. Iya, kan?

Vero tidak mau bohong. Perawakan seorang Roy Rainero memang tipe ideal para perempuan-perempuan yang masih single. Tidak akan ada yang bisa mengira kalau Roy sudah berumur 37 tahun dari postur tubuhnya yang gagah dan wajah awet mudanya. Kulit wajahnya halus, tidak berjerawat. Bisa dikatakan sangat terurus. Hidungnya mancung. Rambutnya hitam lebat dan di ujung depan rambutnya sedikit dinaikkan. Di bawah sudut bibir ada tahi lalat kecil. Dia terlihat dewasa dan tenang. Tak disangkal bahwa Roy memang sangat menawan dan elegan di dalam segala hal. Pasti dulu istrinya juga sangat cantik sehingga sangat cocok disandingkan dengan pria seperti Roy. Begitu pikiran Vero saat ini.

Namun, dibalik seluruh hal menarik yang ada di wajah Roy, seorang Vero bisa melihat ada kesedihan yang tertahan di sisa sorot matanya. Bukan sok tau yang berlagak jadi pakar ekspresi, tapi memang begitu adanya.

Roy memang tampak pendiam dan tidak banyak bicara. Setelah perkenalan singkat, Roy tidak ada
berbincang untuk sekedar basa-basi. Bahkan dengan  anaknya juga tidak. Vero tidak tau itu karena Roy masih bersedih selepas sang istri meninggal atau memang karakternya seperti itu.

Vero mau mengaku sekali lagi. Walaupun irit berbicara tapi interaksi antara Roy dan Elnino membuatnya menyadari pria itu ternyata sangat penyayang dibalik diamnya. Boleh dibilang kalau Roy adalah papa yang baik dan sabar. Hari-hari pasti tidak mudah untuknya setelah kehilangan Sheila. Menjadi single parent di usia yang terbilang masih muda. Dengan segala kesibukannya, Roy harus menyempatkan waktu untuk Elnino agar bisa memantau tumbuh kembang anaknya.

"Elnino mau ayam bakar?" tanya Roy dengan lembut.

Sang anak mengangguk cepat. Bagian paha ayam adalah kesukaan anaknya. Roy tau itu lalu menjulurkan garpu ke piring besar menu ayam bakar. Dan secara kebetulan, di waktu yang bersamaan, Vero juga meletakkan garpunya di atas paha ayam yang Roy incar untuk anaknya. Keduanya saling mendongak membuat mata mereka bertemu dan bertatap beberapa detik.

"Silahkan," kata Roy dengan nada datar, membiarkan Vero mengambil ayam itu. Lagipula Vero tamu papanya, jadi dia mengijinkan dan mengambil bagian lainnya untuk Elnino.

Vero cengengesan gak jelas tapi tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak mengambil ayam itu. Jadi langsung aja serobot. Kan udah diijinin?

Makan malam berlangsung khidmat dengan suara dentingan piring yang berbenturan dengan sendok. Obrolan ringan dari kedua orang tua mereka memenuhi ruangan itu. Sedangkan anak-anaknya hanya diam dalam pikiran masing-masing.

"Oh iya," ujar Theo.

"Malam ini saya juga ingin menyampaikan niat baik hati saya dan istri saya ke Veronica," lanjutnya.

Vero berhenti mengunyah dengan tulang ayam yang masih nyangkut di mulut. Keningnya mengernyit. Seperti ada warning di benaknya yang berucap 'ini dia Ver. Ini dia yang lo curigai. Be ready!' Vero merasa ucapan selanjutnya dari pria itu akan membuatnya meledak.

"Mengingat Elnino yang masih sangat kecil dan membutuhkan sosok seorang mama di dalam tumbuh kembangnya, saya ingin meminang Vero untuk Roy," ucapan itu lolos dengan mulus dari bibir Theo yang tersenyum simpul.

Duaaarr!

"WHAATTT??!!!!" pekik Vero kaget.

"THE HELL YOU TALKING ABOUT?!!" Kali ini mereka yang ada di meja makan semakin kaget lagi karena kalimat Vero. Alice buru-buru menutup mulut kakaknya itu. Jennifer pun buru-buru menutup kedua telinga Elnino. Selanjutnya mereka mendengar suara hentakan sendok yang diletakkan secara kasar di atas piring. Itu reaksi dari Roy.

Roy dan Vero terlihat sangat terkejut dengan pernyataan tiba-tiba Theo. Mereka tidak menyangka kalimat itulah yang ingin disampaikan oleh opanya Elnino itu malam ini. Keduanya tidak siap.

Vero menatap orang tuanya yang tersenyum penuh arti. Sekarang dia tau kenapa dirinya dipaksa ikut malam ini. Mereka pasti udah merencanakannya tapi tidak memberi tau Vero ataupun Roy terlebih dahulu.

Di sisi lain, Roy juga sudah menatap Theo dengan tatapan sinis karena merencanakan ini tanpa persetujuannya. He is still grieving, but why his father like that? Gurat kesal dengan wajah masamnya dapat ditebak oleh Jennifer yang duduk memegang tangan Roy untuk menenangkan laki-laki itu. Mungkin maksud papa mereka baik, tapi waktunya sungguh tidak tepat.

"I can't believe it!" kata Roy keluar dari kursinya, meninggalkan mereka disana. Dia tidak memiliki selera lagi untuk melanjutkan makan malamnya.

Ready For Love ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang