"Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin meminta izin untuk melamar putri Bapak dan menjadikan dia sebagai istri. Saya berjanji akan membahagiakan dan memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya."
"Bapak menerima kedatangan Nak Izzam dalam niat yang baik untuk putri Bapak, tapi keputusan yang sebenarnya ada pada Bulan." Perjelas Hasan–Ayah Bulan.
Izzam mengangguk, "Saya akan mendengarkan keputusan Bulan apapun itu, dia punya hak untuk ini."
Lusita berdiri dari tempat, "Biar Tante panggil Bulan dulu yah, dia baru pulang soalnya baru dapat cuti semester di kampus."
Izzam merespon dengan senyum, "Iya, Tante."
Pria itu datang seorang diri tanpa keluarga yang mendampingi sebab kedua orangtua Izzam sedang ada kepentingan bisnis di luar negeri, sehingga hanya bekal kesiapan dan kemantapan diri, Izzam datang meminang wanita yang sudah ia kagumi selama dua tahun.
Klek!
"Bulan kamu siap-siap sekarang, dan terima lamaran di luar." Luista membuka lemari Bulan dan melempar tunik dan rok yang masih terhanger. "Pakai ini." Sambungnya.
"Dilamar?!" Bulan yang baru saja ke luar dari kamar mandi shock mendengar penuturan sang Ibu.
"Iya, anak Tante Santi datang, sahabat Ibu." Lusita melepas hanger satu persatu dan mengambil kembali jilbab pashmina hitam milik Bulan di lemari gadis itu.
Tanpa pentir, tanpa guntur, tanpa mendung, langit tiba-tiba hujan tanpa sepengetahuannya seorang pria datang melamar ke rumah dan sang Ibu menyuruh untuk menerima saja lamaran itu, tidak!
"Siapa anak Tante Santi?"
"Izzam, masa nggak ingat. Dia pernah nginap di rumah Ibu sama mamanya dua tahun lalu, pas acara nikahan Adek kandung Tante Santi. Udah nggak usah banyak tanya lagi, pakai cepat baju ini."
"Tapi kenapa Ibu buru-buru sekali, Bulan belum siap menikah, dan ini keputusan yang mendadak, Bu."
"Anak Tante Yanti, baru saja nyelesain pendidikan Dokternya di German, dan sekarang jauh-jauh dari sana dia mau ngelamar kamu, ini kesempatan besar di mana lagi kamu dapat laki-laki yang jelas pekerjaannya, punya latar pendidikan yang baik." Perjelas Lusita panjang lebar.
Bulan menggeleng keras, ia tidak mau menikah dengan seorang Dokter. Profesi Dokter tidak masuk list tipikal pasangan impiannya, Bulan menatap Lusita, "Nggak! Bulan nggak mau Bu. Bulan punya pria yang Bulan sukai sendiri."
Lusita memegangi dua bahu Bulan, "Pria yang mana? Yang Tentara itu maksudmu? Tapi mana? Emang dari mereka ada yang mau sama kamu?"
"Sudahlah Nak, kamu jangan terlalu terobsesi dengan mimpi punya pasangan abdi negara atau si loreng-loreng itu, bagaimana jika kamu jadi perawan tua karena nungguin mereka, mending terima saja apa yang ada, apalagi pekerjaannya sudah jelas."
Bulan mendudukkan bokong di samping kasur, "Maaf Bu, tapi tetap saja Bulan nggak bisa terima lama–"
Lusita melempar tunik digenggamannya, "Terima lamaran hari ini atau berhenti kuliah, semua biaya kuliahmu dicabut."
"Maafkan Ibu Nak, tapi ini demi kebaikanmu, Ibu cuman mau Bulan tidak menderita di masa depan tapi hidup bahagia dengan pria mapan dari segi materi dan akhlaknya. Ibu yakin Izzam adalah pria tepat." Batin Dahlia. Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia.
***
Kini Bulan dan Lusita berjalan beriringan ke ruang tamu, pandangan Izzam saat itu tidak terlepas dengan paras Bulan yang anggun dengan balutan tunik putih bunga kuning dengan rok navy ditambah pashmina navy yang menutupi dada.
Hasan menyuruh Bulan duduk didekatnya, setelah gadis itu duduk, sang ayah mengulang dan menjelaskan kembali niat kedatangan Izzam.
"Sampaikan keputusanmu Nak ayah dan Ibu mendukungmu." Hasan mengelus punggung Bulan pelan.
Bulan mengangkat dagu sedikit menatap Izzam sebentar, 'Ouh jadi ini anak Tante Santi.' Tapi kenapa sangat sulit bagi Bulan mengenali wajah pria itu, jika memang ia pernah menginap dua tahun lalu pastilah Bulan bisa menandai wajahnya tapi itu tidak.
Ada banyak pertanyaan yang menjanggal di kepala Bulan, mengapa pria ini ingin melamarnya, dan apa yang menyakinkan hatinya hingga seberani ini datang ke rumahnya.
Padahal jika dipikir ia lulusan kedokteran, dan Bulan hanyalah mahasiswa semester tiga yang belum tentu pekerjaannya, padahal menurut Bulan gadis-gadis yang kuliah di jurusan Kedokteran pastinya cantik dan berasal dari keluarga berada, lalu kenapa pria ini tidak melirik teman kelasnya saja, kenapa harus Bulan.
Lusita menyenggol lengan Bulan pelan, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
"Ekhm ... sebelumnya saya berterima kasih atas niat dan keberanian anda sudah datang ke rumah untuk melamar saya." Bulan menggantung ucapannya, ia bingung harus berkata apa selanjutnya, gadis itu dalam keadaan dilema, bagaimana mungkin ia menerima lamaran pria yang tidak dicintai.
Gadis itu meremas rok. 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan dan jawabanmu atas keraguan dalam hatiku.'
Bulan menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan, "Anda pria yang baik dan mapan, untuk lamaran ini saya ti–"
"Assalamu'alaikum."
Semua menoleh dan terkejut dengan kedatangan seorang pria berpakaian dinas Tentara berdiri di ambang pintu, ada kotak hitam terikat pita digenggamannya dan masker yang menutupi wajahnya.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."
Hasan mempersilahkan pria itu masuk, dan bertanya apa gerangan kedatangannya.
Setelah duduk, ia menegapkan tubuh dan menyatukan kedua tangan di pangkuan, pria itu membuka masker. "Bismillahirrahmanirrahim ... atas kesanggupan hati niat dan kedatangan saya ke rumah Bapak dan Ibu untuk menghalalkan Nafasya Bulan Arsyana menjadi makmum yang kelak bisa saya tuntun dunia dan akhirat."
"Altalune?!"
Deg!
***
Copyright © 2023 oleh PatimKP
» Update : Tiap Malam Minggu
» Follow akun ig : @patimkp_29
» Follow akun WP: Patim_KPVote yh! Makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Altalune
RomanceBagaimana rasanya jika seorang Perwira muda TNI mengangumimu diam-diam dan mencari tahu kehidupanmu dari belakang. Nafasya Bulan Arsyana seorang gadis yang begitu terobsesi memiliki pasangan abdi negara seorang Tentara, namun siapa sangka perwira m...