Part 31 - One Precious Wish

273 21 1
                                    

"Yasmin sayang sama Bi Enda, tapi Tuhan lebih sayang Bi Enda. Tunggu Yasmin yah, kita akan bertemu nanti di sana." Yasmin memeluk batu nisan milik Bi Enda sosok wanita yang menemaninya dari kecil hingga tumbuh menjadi gadis kuat seperti sekarang.

"Bi Enda selalu ngomong sama Yasmin kalau hidup itu cuman sekali kita nggak boleh terus sedih, kalau sering sedih bahagianya kapan." Gadis berambut kuncir itu menghapus setitik air mata yang membasahi pipinya.

Ia kemudian bangkit dari duduknya menaburi bunga di atas makam Bi Enda, gadis itu kemudian berjalan bersama Andika menuju satu makam lagi.

Andika dan Yasmin berjongkok di depan batu nisan bertanda salib yang bertuliskan nama 'Inggit Permatasari'

"Ma, Yasmin datang sama Ayah. Mama apa kabar di sana? Mama baik-baik aja 'kan?"

Yasmin mengelus batu nisan di sampingnya, "Hari ini Yasmin mau operasi, Yasmin pengen banget ditemani Mama, Yasmin pengen banget dipeluk Mama."

Yasmin memeluk batu nisan itu, "Yasmin rindu, Ma."

Ia kembali mengusap air mata yang mengalir, "Yasmin mau izin operasi ditemani ayah, Ma."

Andika kemudian mengajak sang putri untuk berdiri pria itu mendekap Yasmin dalam pelukannya. "Semua yang Yasmin katakan di dengar sama mama di bawah, dan ayah janji anak ayah akan sembuh."

'Operasi ini dilakukan sebagai upaya anak Bapak masih bisa bertahan hidup beberapa minggu ke depan, kami sudah melakukan berbagai cara tapi semua itu mustahil untuk membantunya hidup lebih lama.'

Kalimat itu menjadi peluru penghancur benteng pertahanan Andika, kalimat yang membuatnya merasa takut jika hari di mana Yasmin meninggalkannya seorang diri akan tiba.

Cintanya pada sang anak sangat besar dan pengorbanan yang ia habiskan bertahun-tahun seakan akan retak suatu hari nanti.

"Ayah janji, Yasmin akan sembuh, ayah janji, Nak." Andika mencium pucuk kepala sang putri begitu lama, dan mendekapnya lebih dalam. Itu janjinya.

***

Mendapat telepon mendadak dari Kakak Kosnya membuat Bulan mau tidak mau harus pulang cepat, ia terpaksa menggantung jawaban untuk Tenggara di rooftop.

Bukan hanya itu, tujuannya ke perpustakaan batal sehingga ia hanya pulang dengan tangan kosong tanpa membawa buku sama sekali.

Bulan memarkir motor di parkiran rumah sakit, gadis itu melepas helm begitupun Rindi.

"Sebenarnya gue males banget ke sini tapi mau gimana lagi nilai gue bergantung sama atasan tempat gue magang." Rindi membuang napas kasar.

Bulan terkekeh, "Jangan gitulah Kak, Guru agama Bulan sering bilang gini, kalau kita ngerjain sesuatu itu lakuin atas nama Allah, biar bernilai ibadah dan seberat apapun pekerjaannya kita harus ikhlas dan lapang dada biar pekerjaannya lebih mudah."

"Iya sih yang lo bilang bener."

Keduanya berjalan memasuki koridor rumah sakit.

"Tapi gue nggak terima aja sih Lan, asal lo tahu, gue baru satu minggu magang di tempat itu, atasannya alias ceonya itu aneh plus nyebelin."

Bulan menautkan satu alis, "Aneh gimana, Kak?"

"Nih yah, saat bos gue lagi batuk, gue bawain air hangat nih, eh dianya malah marah-marah bilang kalau gue kerjanya nggak becus nggak nanya sama karyawan lama dulu kalau dia minumnya air es kalau lagi batuk. Kan aneh ngga sih?"

"Maksud gue itu kenapa mesti marah-marah, kenapa nggak nasehatin dulu gitu, gue 'kan nggak tahu." Lanjut Rindi masih tak terima jika mengingat kejadian beberapa hari lalu.

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang