Part 26 - Definisi Ikan Cupang

319 22 1
                                    

"Sayang sekali padahal saya sudah menunggunya dari tadi. Kalian dari kesatuan militer batalyon Andika tugas?"

Altalune tersenyum, "Iya, Pak."

Pria paruh baya itu mengangguk, "Andika adalah sahabat kecil saya sampai sekarang saya tidak menyangka dia bisa menjadi seorang Mayor, padahal dulu saat kami masih sekolah, Andika suka bolos, bahkan suka ngajak saya mencuri mangga depan SD kami." Pria itu tertawa jika mengingat masa dulu.

"Tapi Andika itu sebenarnya anak yang rajin, dia suka berbagi dan membantu sesamanya," lanjut Harditama menghela, sudah lama ia tidak bertemu sahabatnya itu.

"Komandan kami itu memang dermawan, dan tulus," ucap Altalune mengakuinya.

"Yang kamu bilang benar."

"Ouhiya saya lupa, sebelumnya selamat atas bertambahnya usia anak Bapak semoga dia bisa menjadi sosok yang bermanfaat dan kebanggaan Bapak, kami mewakili Komandan Andika mengucapkan itu." Altalune mengode Gibran yang memegang hadiah ulang tahun, dan pria itu memberinya pada Harditama.

"Selamat bertambah usia untuk anak, Bapak," ucap Gibran.

"Terima kasih, sampaikan kekecewaan saya sama Andika nanti kalau ketemu saya ingin mencubitnya." Harditama tertawa, dan ketiga pria di dekatnya ikut tertawa.

"Kalau boleh tahu anak Pak Harditama yang mana yah?" tanya Rey penasaran.

"Pria yang berbaju orange itu anak saya." Tunjuk Harditama pada satu sosok pria yang memberi satu kuntum bunga pada satu cewe.

"Ouh itu anak Bapak di ...." Nada Rey menjadi rendah hingga tak mampu melanjutkan ucapannya saat menangkap sosok perempuan di depan anak Harditama.

Ekspresi yang nampak di wajah Rey membuat Harditama bingung, "Iya emang kenapa?"

Rey terkekeh, "He he dia tampan juga yah seperti Bapaknya," puji Rey

Mendengar itu Harditama ikut terkekeh. "Bapaknya sudah tua."

Sedang Gibran mengusap-usap mata, ia tidak salah lihat 'kan?

"Ouhiya kalau gitu saya ke sana dulu yah, kalian nikmatin acara di sini jangan sungkan-sungkan,"ujar Harditama.

"Iya, Pak. Terima kasih," balas Rey tersenyum, dan kini hanya tersisa mereka bertiga di tempat.

"Itu Bulan bukan sih?" tebak Gibran

Mendengar ucapan Gibran, Rey menoleh kembali membidik tatapan ke arah yang ditunjuk Gibran, "Lah iya, itu Bulan. Ngapain dia disitu sama anaknya Pak Harditama."

"Ndan itu Bu–" belum sempat Gibran menyelesaikan kalimatnya, ia cukup bergidik melihat ekspresi tajam dari Altalune yang sudah menyadari keberadaan seorang pria di sana bersama Bulan.

"Ehm Ndan cemburu yah?" tanya Gibran pelan.

Altalune duduk nenenangkan dadanya yang berapi-api, "Nggak, biasa aja."

Gibran dan Rey ikut duduk di sofa samping Altalune.

"Terus mukanya kok merah?"

Altalune mengambil air di atas meja tepat di dekatnya, "Saya panas."

"Lah bukan haus yah Ndan?" Rey menahan tawa.

"Terserah saya."

"Komandan kita bisa juga yah cemburu." Kedua pria itu terkekeh kecil.

"Kalian nertawain saya?" interogasi Altalune tak mengalihkan pandangan.

"Nggak Ndan kita nertawain yang lain kok," jawab Gibran berbihong.

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang