Part 8 - Pertolongan Allah

650 29 0
                                    

"Berjanjilah, kita akan bertemu, aku akan menunggu hingga kamu datang, Tuan Lauhul Mahfudz."
- Nafasya Bulan Arsyana

"Saya hanya tidak ingin membuatmu terkejut, maka tunggulah sebentar, saya akan datang menemuimu dalam keseriusan karena Allah."
- Altalune Galen Hasyim

***

27 Oktober. Pembuktian Tanpa Identitas
Saya tidak tahu itu takdir, jika Tuhan memberi izin untuk bisa melihatmu lagi. Saya bahagia, walau hanya melihatmu dari puncak tanpa bertukar sapa sore itu. Malam di mana, kamu tidak sengaja menumpahkan segelas air di kemeja saya, ingat? Saat itu untuk pertama kali jantung saya berdebar tidak teratur, marah? Tentu saja tidak. Jika kamu membaca ini, kamu akan tertawa kemeja malam itu tidak saya cuci dan keringkan, malah saya hanger. Suatu hari Bulan, saya akan buktikan dugaanmu dan keraguanmu tentang Tentara akan hilang bersama pembuktian keseriusan saya. Maaf jika saat ini saya harus menyembunyikan identitas sebagai Tentara, saya hanya ingin memberimu bukti arti kesetiaan tanpa profesi.

- Diary 2. Altalune Galen Hasyim

***

Malam sudah larut, setelah seharian beraktivitas membuat mereka lelah. Di dalam tenda yang gelap, Bulan, Rara, dan Rima berbaring menghadap langit-langit. Meskipun cuaca di luar dingin, suasana di dalam tenda juga terasa sejuk, sehingga mereka memutuskan untuk mengenakan jaket meskipun sudah ditutupi selimut.

"Bulan, tadi siapa pria yang kamu ajak ngobrol?" tanya Rima, penasaran. Rima berada di tengah, dengan Rara di sebelah kiri dan Bulan di sebelah kanan.

"Ah, itu cuma orang kenalan yang kebetulan ketemu lagi," jawab Bulan sederhana. Rima hanya mengangguk mengiyakannya, mata gadis itu sudah terserang kantuk.

"Aku mau tidur dulu ya, Lan," ucap Rima dengan suara yang semakin lirih.

"Aku juga, besok harus bangun pagi ada apel lagi," tambah Rara dengan suara pelan.

"Iya, selamat malam, selamat tidur," ucap Bulan.

Lima menit berlalu, mata Bulan belum juga mau terpejam. Gadis itu bangun perlahan, keluar dari selimut dengan hati-hati agar tidak membangunkan Rima dan Rara yang sudah tidur pulas. Dia mengambil binder berkulit di bawah ransel yang baru saja dikeluarkannya.

Bulan melihat Rima dan Rara yang tengah tertidur lelap, lalu perlahan membuka resleting tenda. Dia menatap langit yang gelap tanpa ada satu pun bintang, hanya cahaya bulan yang menerangi.

Bulan mengencangkan jaket kulit yang dikenakannya, merasakan udara dingin di luar. Dia membiarkan angin menyapanya, sambil membuka binder yang penuh dengan foto pria yang menjadi impiannya. Ada banyak foto yang menampilkan pria berpakaian Tentara, beberapa di antaranya wajahnya tercut. Bulan mengatakan bahwa dia tidak ingin tahu tentang wajahnya; dia ingin menjadikannya rahasia antara dirinya dan Tuhan.

Dengan tangan lentiknya, Bulan membuka satu persatu lembar binder dengan senyum hangat. Setiap kali dia melihat foto-foto tersebut, hati kecilnya selalu bertanya, mungkinkah pria dalam foto ini bisa menjadi miliknya, mungkinkah ada di antara mereka yang benar-benar serius dengan Bulan.

Bulan membiarkan binder terbukti, sekarang dia memandang ke arah langit yang paling terang di sana.

"Hei Tuan Lauhul Mahfudz. Kamu janji, akan datang suatu hari, kan?" ucap Bulan berbisik pelan.

"Aku takut, jika aku hanya yang berjuang, hanya aku yang menunggu, tapi kamu benar-benar tidak ada," Bulan menghela.

"Banyak orang menganggapku gila karena terlalu terobsesi padamu. Bagaimana aku bisa bertahan menunggumu, Tuan? Hatiku lelah."

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang