Part 14 - Sang Mentari

483 24 2
                                    

Malam ini Kos Tidung tengah menikmati kesederhanaan mereka dalam acara bakar jagung sayangnya semua jagung sudah dibakar sisa menunggu hasil ulekan sambal dan pisang goreng dari Rindi dan Bulan.

Bapak dan Ibu kos beserta para anak-anak kos berkumpul di bawah, terdengar suara tawa dan cekikin keakraban, itulah yang terkadang membuat anak kos lain bertanya-tanya memang ada? Anak kos yang akrab sama Bapak dan Ibu kosnya?

"Okei dah selesai." Bulan mencuci tangan di kran mengalir, hasil pisang goreng ala Chef Bulan siap disantap.

Rindi pun ikut membersihkan tangan di kran, ia selesai dengan ulekan sambal hijau penantian semua orang di bawah.

Keduanya berjalan menuruni tangga, terdengar suara gitar anak-anak kos lain bernyanyi, suasana bak keluarga itu yang memberi kenyamanan dan rasa yang tidak pernah didapatkan di luar.

"Sambal ulekan hijau udah jadi, waktunya menyantap!" teriak Anti – Ibu Kos saat melihat kedatangan Rindi dan Bulan.

Rindi meletakkan satu piring sambal hijau disebelah Bapak dan Ibu Kos, dan sepiringnya lagi untuk mereka para anak kos.

"Sisa lima puluh ribu nih kembalian belanjaan tadi, Tante." Rindi mengeluarkan uang lima puluh dari saku rajut dan memberinya pada Anti.

"Nggak usah simpan aja buat kamu, bagi dua sama Bulan." Wanita paruh baya itu tersenyum.

"Alhamdulillah rezeki anak sholeh, makasih banyak, Tante."

Langit hitam yang dipenuhi kerlap-kerlip gemintang membuat Bulan tak mengindahkan pandangan pada satu benda langit yang seringkali menarik perhatian 'bulan'

'Hei Tuan Lauhul Mahfudz, kamu lagi apa di sana? Apa kegiatanmu? Kamu sedang senang-senang sepertiku nggak?' Bulan menarik dua sudut bibirnya, ia menghela.

Menarilah dan terus tertawa
Ha ha!

Lamunan Bulan terbuyarkan saat sebuah nyanyian 'Laskar Pelangi' menari di pendengarannya, gadis itu mengambil setusuk jagung bakar dan ikut bernyanyi.

Walau dunia tak seindah surga,
Bersyukurlah pada yang Kuasa
Cinta kita di dunia ....
Selamanya!

***

Air kran mesjid mengalir, seorang pria berkaos putih dengan sarung yang menutupi bagian perut sampai pergelangan kakinya tengah membasuh wajah, hingga diakhir pria itu menyempurnakan wudhu dengan membersihkan kaki hingga pergelangannya.

Pukul dua dini lewat tiga puluh menit, Altalune merasa tak tertahan dengan rindu untuk kembali bertemu sang Rabb di sepertiga malam.

Kerinduan itu yang seringkali mengantarkannya terbangun tiba-tiba sebelum alarm handphone yang ia setel berbunyi.

Pria itu kemudian menutup keran, lalu melangkah masuk ke dalam mesjid untung saja jarak baraknya dengan mesjid hanya terpaut beberapa langkah sehingga itu yang memudahkan Alta menjalankan shalat tahajjud.

Bagi Altalune, sholat di mesjid lebih indah pahalanya dan lebih dapat ketenangannya ke banding di barak, pria itu bisa merasakan angin malam menyisir rambutnya yang basah dan menyapu wajahnya yang terasa dingin.

Altalune melentangkan sajadah, lalu menegapkan tubuh, "Allahuakbar."

Inilah yang membuat seorang Altalune berbeda, ia tidak tenang jika tidak bisa melaksanakan panggilan Allah di sepertiga malamnya, walau hatinya sedih melihat anak-anak barak masih ada yang lalai dan lupa manfaat sholat di sepertiga malam, Altalune selalu berdo'a pintu hati mereka dibukakan.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh." Salam Altalune ke kanan dan kiri, di penghujung ia menutup dengan sholat witir.

Altalune mengangkat kedua tangannya menyatukan dua telapak tangan, sebuah cahaya menelisik masuk dari lubang-lubang kecil dari atap.

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang