Part 42 - Hei, Hati-Hati Yah!

300 19 5
                                    

"Saya mencintaimu bukan karena nafsu, bukan pula karena kecantikan rupamu, melainkan bagaimana kamu sebagai perempuan mampu menjaga mahkota dan kesucianmu karena Allah."

– Altalune Galen Hasyim

***

"Makasih yah, Pak." Bulan memberi tip pada ojek yang ia tumpangi saat barang-barangnya sudah ditaruh di sampingnya, Kang Ojek itu kemudian pergi meninggalkan Bulan di terminal Bus.

Bulan menatap jam di pergelangan tangannya sebentar lagi sore tiba untung hari ini ia halangan sehingga ia tidak perlu menyambung sholat tadinya. Bulan melihat sebuah bus merah sudah akan berangkat dengan seseorang di pintu besarnya memanggil beberapa penumpang untuk masuk dan dua orang lainnya membantu memasukkan barang ke bagasi paling belakang bus.

Bulan berjalan ke arah bus merah itu dan memberitahu salah satu anggota sopir ia ingin naik bus itu.

Sedang dari belakang Altalune dan dua pangeran katak alias Gibran dan Rey berjalan di belakang Altalune dengan tas di punggung mereka, ketiganya memang sudah dari tadi menguntit dan mengikuti Bulan diam-diam, sebab kemarin Altalune memang sudah tahu Bulan akan pulang hari ini.

Itulah mengapa kemarin malam juga ia minta izin pada Danyon Andika untuk cuti selama dua hari dengan alasan ingin melamar seseorang dan terpaksa pula Andika memberikan cuti pada Gibran dan Rey. Sebenarnya Andika kecewa mendapatkan kabar Altalune akan melamar Bulan sebab ia masih berharap Altalune akan membuka hatinya pada putrinya tapi Andika tidak memaksa Altalune untuk menyukai putrinya.

Saat Bulan naik ke atas bus, ketiga serangkai itupun naik ke atas bus setelah melakukan pendaftaran pada anggota dari bus.

"Enek tuh minyak kayu putih lo hirup terus," tegur Gibran pada Rey yang sedari tadi menghirup minyak kayu putih sampai-sampai benda itu sudah seperti obat bius di hidung Rey yang merekat bagai permen karet.

"Diem, gue mabuk tahu!" belahnya pada diri sendiri tidak terima.

Bulan duduk di kursi dua banjar kanan hingga Altalune memilih duduk di kursi keempat menjaga satu jarak agar tidak ketahuan dari Bulan sedang dua anggota Altalune duduk di kursi kelima, ruang bus lumayan luas, bersih dan wangi.

"Lo bawa kantongan nggak?" tanya Rey, seperti orang asma yang takut kehilangan minyak kayu putih digenggamannya.

"Nggak ada." Gibran berdecak hingga pria itu menoleh full ke arah Rey, "Jangan bilang gara-gara nggak bawa kantongan lo bakal muntah ke gue."

"Makanya cari' in kantongan."

Gibran memutar mata malas seraya menghela berat. "Tuh sana minta sama Tante-Tante dia banyak kantongan tuh." Tunjuknya pada kursi banjar kiri.

Rey bergidik melihat wanita yang duduk di sana sebaris dengan kursinya. Cetak alis tebal, bibir merah merona, rambut keriting tanpa diikat belum lagi kelopak matanya seperti sudah di cetak agak kehitaman wanita itu tengah melipat kantong-kantong hitam di pangkuannya. "Bantuin ngomong, kalau lo yang ngomong kayaknya dia bakal ngasih."

"Penumpan udah full! Oke jalan!" teriak salah seorang anggota bus, dan akhirnya bus pun jalan.

Bulan menatap ke arah jendela akhir-akhir ini ia jarang menuliskan sesuatu untuk Tuan Lauhul Mahfudznya, entah di mana ia berada sekarang, Bulan jadi penasaran. Gadis itu senyum-senyum sendiri membayangkan jika Tuan Lauhul Mahfudznya sedang di posisi yang sama seperti sekarang ini.

Bulan mengeluarkan note kecil dari dalam tasnya dan mencabut satu kertas lalu menuliskan sesuatu di atasnya.

"Hei Tuan Lauhul Mahfudzku, hari ini aku tengah perjalanan pulang kampung, surat ini kusampaikan padamu agar kamu tahu, ehm do 'ain yah semoga selamat sampai tujuan he he."

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang