Part 28 - Message Delivery Bottle

322 22 1
                                    

"Aku tidak tahu kapan, di mana, dan seperti apa tempat kita akan bertemu, namun aku ingin kamu tahu kalau aku masih menunggumu di sini. Tuan Lauhul Mahfudzku."

– Nafasya Bulan Arsyana

***

"Semangat pagi!" teriak Andika.

"Pagi! Pagi! Luar biasa!" seru satuan TNI.

"Semangat pagi!"

"Pagi! Pagi! Luar biasa!"

Pagi ini, satuan TNI yang dipimpin Danyon Andika tengah diarahkan untuk melaksanakan program peduli sosial.

Sebab sampah di pantai salah satu daerah memanjang sepaniang tepi bahkan hampir menyosor ke rumah warga karena tepatnya berada di belakang sehingga warga setempat ikut turun tangan.

"Kalau liat ginian tiap hari aku jadi semangat bawaannya." Rima memandang para Tentara yang tengah membentuk lingkaran besar, berteriak menyuarakan yel-yel mereka.

Pemandangan roti sobek dari pria-pria bertubuh kekar di sana mengambil alih pandangan Rima hingga Rara dan Bulan hanya geleng-geleng.

"Astagafirullah, matanya Rim, matanya," tegur Rara menutup mata gadis itu dengan telapak tangannya membuat Rima terkekeh.

"Yah sekali-kali lah, kita juga nggak setiap hari 'kan liat gituan."

"Sekali-kali kamu juga dapet dosa?"

Rima melipat bibir, "Astagafirullah, maafin Rima ya Allah tadi khilaf."

Bulan terkekeh sambil menggeleng, "Nanti kalau udah ada suami baru boleh, itupun kalau suaminya punya roti sobek."

"Minimal kayak mereka ya Allah." Tunjuk Rima pada Tentara di sana, di mana wajah dan satu tangannya tertuju dan melihat ke atas.

"Aamiin!" serempak Bulan dan Rara terkekeh.

Para relawan juga diundang pemerintah daerah tersebut untuk ikut berkontribusi dalam program peduli sosial.

Para Tentara bubar barisan usai melakukan yel-yel pembangkit semangat, saat itu langit sedang mendung sehingga cahaya matahari pagi itu tertutupi awan gelap.

Lagu dangdut seketika terputar dari arah barat membuat para Tentara dan warga lainnya ikut berjoget sambil memunguti sampah, suasana di pantai saat itu meriah dan tidak terkesan monoton.

Jika semua Tentara melepas baju mereka dan hanya menyisahkan celana pendek sepaha, maka tidak dengan Altalune dan Andika yang memakai kaos dan celana hitam yang menutupi tubuh mereka.

Walaupun sama-sama memiliki roti sobek, Altalune tidak suka mengumbar roti sobek miliknya ia akan menyembunyikan dan menjaganya dengan baik karena yang berhak melihat itu hanya pasangannya nanti.

"Ndan, Bulan juga ada di sini," bisik Gibran mendekati Altalune.

Pria itu membuka kecamata hitam miliknya dan tepat dari jauh sana Bulan tengah tertawa bersama dua temannya, sebuah pemandangan indah yang nampak di mata Altalune.

"Ada yang ingin Komandan lakukan untuk gadis itu?" tanya Gibran.

Altalune memakai kecamatanya lagi, "Jangan ganggu dia, biarkan saja."

"Komandan malu yah sama kejadian kemarin? Yang soal pantun itu he he." Gibran menutup mulut sambil terkekeh.

Altalune tidak menghiraukan Gibran pria itu sibuk menusuk sampah dengan tongkat penusuk dari besi dan satu keranjang rotan di punggungnya. Jika boleh jujur ia sebenarnya masih malu.

AltaluneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang