Yasmin terdiam, ia melirik sinis Bulan yang sudah mengenakan jaket yang diberikan Altalune.
'Aroma mint berpadu daun teh, seleranya tinggi juga yah.' Bulan menunduk, entah kenapa kedua pipinya memerah.
"Setelah hujan redah, baru kita pulang," ucap Altalune, dibalas deheman dari kedua gadis itu.
***
"Kenapa kalian keliru sih?! Waktu apel saya sering ngomong tolong perhatikan masing-masing anggota tim kalian saat bertugas, jangan sampai ada yang hilang, atau tertinggal kalian budek atau memang pura-pura lupa! Padahal saya ulang-ulang loh pas apel tadi!" Farel benar-benar murka mendengar kabar satu anggotanya hilang terlebih itu adalah Bulan.
Rima dan Rara tak mampu berkutit selain diam dan menunduk di depan Farel, kedua gadis itu juga bingung bagaimana cara mereka menjelaskan jika mereka benar-benar tidak tahu Bulan bisa lepas dari gerombolan.
"Ngang ngong ngang ngong, kalau ditanya ngomong! Punya mulut, kan?!"
"Di mana terakhir kali kalian tinggalin Bulan."
"Punya mulut?" tanya Farel dengan nada rendah kali ini.
Rara tertegun, "Sa–saya agak lupa Kak soal–"
Farel memijat pelipis, "Sepertinya saya lebih butuh bantuan aparat TNI." Pria itu kemudian meninggalkan kedua gadis di depannya.
Rima mengusap bahu Rara menenangkan gadis itu, "Aku yakin Allah bersama Bulan ia akan baik-baik saja, Kak Farel mungkin sangat khawatir karena sejauh ini kita tidak pernah kehilangan anggota makanya tadi dia sensitif."
"Ini semua salahku nggak teliti waktu itu."
Rima menghela, "Kamu nggak sendiri, aku juga ikut terlibat. Percaya deh, Bulan selalu ngomong kalau ada masalah libatin Allah, fa inna ma'al usri yusra, inna ma'al usri yusra."
"Dua kali Allah berfirman dalam surah Al-Insyirah ayat lima dan enam, maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan." Lanjut Rima dan mendapat pelukan dari Rara. "Allah akan kasih jalan ke luar."
***
Malam semakin larut sementara hujan masih tak kunjung redah, ketiga insan itu masih duduk di dalam gubuk tanpa membuka obrolan lagi, hanya suara hantaman hujan yang menjadi pengantar suasana canggung di antara ketiganya.
Nyali Bulan menciut untuk menanyakan kembali keberadaan Altalune di hutan. 'Terserah dia mau ada di hutan atau nggak bukan urusanku untuk tahu.'
"Apa warna kesukaanmu, Bulan?"
"E–ehm?" Lamunan Bulan terbuyarkan.
"Apa warna kesukaanmu?" tanya Altalune kedua kali.
Lain dengan Yasmin yang kini mengerutkan kedua alis, ada gerangan apa Altalune bertanya hal seperti itu, tidak biasanya ia membuka obrolan awal dengan seorang gadis jika biasanya pria itu bersikap bagai kulkas dua pintu.
"Biru."
Altalune mengangguk. "Ouh."
'Cuman itu? Cuman oh? Terus alasan dia nanya gitu buat apa coba? Buat apa? Nggak jelas banget.' Bulan meremuk jaket yang ia kenakan, setidaknya ada alasan kenapa dia nanya warna kesukaan Bulan.
'Duh kenapa jadi sensi sih Lan, seharusnya biasa aja kan. Mungkin efek halangan kali yah.' Bulan mengetok kepalanya.
"Kepalamu sakit?" tanya Altalune.
"Ouh nggak, ini gatel."
Yasmin berdecih, "Gatal digaruk bukan diketok," gumamnya.
Bulan menghela berat, kenapa setiap kali bertemu pria ini darahnya suka naik turun, kadang naik kadang stabil, ia bingung mengkondisikam mood seperti apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altalune
Roman d'amourBagaimana rasanya jika seorang Perwira muda TNI mengangumimu diam-diam dan mencari tahu kehidupanmu dari belakang. Nafasya Bulan Arsyana seorang gadis yang begitu terobsesi memiliki pasangan abdi negara seorang Tentara, namun siapa sangka perwira m...