"Saya benar-benar setuju dengan konsep yang anda presentasikan tadi. Kedepannya, semoga kita bisa menjadi partner kerja yang baik."
Lelaki dengan balutan jas berwarna biru navy itu, tersenyum kepada Reatha. Wajahnya yang dibaluti brewok tipis terlihat sangat menarik perhatian perempuan. Namun Reatha tampak tak bersemangat dengan pemandangan indah di depannya saat ini.
"Kami juga sangat berharap proyek yang kami tawarkan bisa segera terealisasi secepatnya."
Cukup lama mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Sebelum akhirnya, pria berjas biru navy itu pamit dan meninggalkan Reatha beserta Hera di kedai kopi yang sedang mereka tempati sekarang.
Reatha mendesah panjang selepas kepergian lelaki itu. Membuat Hera, rekan kerja yang menemaninya meeting bersama klien hari ini langsung mengernyit melihat ekspresi wajah teman kantornya barusan. Reatha terbilang perempuan tangguh yang hampir tidak pernah mengeluh dengan urusan pekerjaan. Bahkan seringnya perempuan itu rela lembur setiap hari demi menyelesaikan pekerjaannya.
Lantas hari ini, hanya bertemu klien yang sama sekali tidak memakan waktu berjam-jam lamanya, kenapa harus membuat wajah Reatha kusut dan napasnya terdengar berat sekali, seperti itu? Seolah ada beban berat yang sedang ditanggungnya sekarang. Apakah gadis itu tertekan dengan pekerjaannya?
"Mbak Reatha baik-baik aja, kan?" tanya Hera yang sudah ikut duduk di depan Reatha.
"Ya, I'm okay Her. Harus baik sih mestinya," sahut Reatha dengan begitu lemas.
Hera lantas terdiam beberapa saat sembari memandangi Reatha dengan intens. Rekan kerjanya itu tampak begitu aneh hari ini.
"Mbak Reatha sakit? Kalau lagi nggak enak badan pulang ke rumah aja, Mbak. Nanti biar saya yang ngomong ke Pak Galih. Muka Mbak Reatha pucat banget soalnya."
Reatha mencoba tersenyum, walau sebenarnya sulit untuk bisa melakukan hal itu. "Enggak kok, Her. Ini, saya lagi kecapean aja kayaknya. Oh iya, kamu mau langsung balik kantor atau gimana? Sudah hampir jam makan siang juga, kan?"
"Oh iya ya, Mbak. Udah masuk jam makan siang, ternyata." Hera mengalihkan pandang ke luar ruangan. Melihat sekitar jalan raya yang sudah terlihat padat akan kendaraan.
Tempat duduknya saat ini kebetulan berada tepat di samping dinding kaca yang begitu transparan. Sehingga cukup mudah baginya untuk mengintip suasana yang ada di luar ruangan.
"Mbak Reatha mau makan dulu atau gimana?"
"Saya mau mampir ke suatu tempat dulu sih, Her. Ada janji sama teman. Kamu gapapa kan, pulang ke kantor sendirian?"
"Oh gitu, ya, Mbak." Hera menggeleng. "Gapapa kok. Nanti saya naik taksi aja pulang ke kantornya."
"Nggak usah naik taksi. Kamu pakai mobil saya saja. Saya bisa berangkat bareng teman kok. Kebetulan dia mau jemput karena ada di sekitar sini juga."
Reatha sudah merapikan barang-barangnya. Lalu menyerahkan kunci mobilnya kepada Hera. "Eh temanku udah nelpon nih. Kayaknya udah ada di depan. Saya tinggal dulu ya, Her. Maaf nih nggak bisa makan siang bareng kamu."
Reatha nampak terburu. Namun tetap menyempatkan diri untuk memanggil pramusaji dan memesankan makan siang untuk Hera. Sebagai senior di perusahaan tempatnya bekerja, Reatha memang selalu memperlakukan Hera dengan sangat manis. Hera kadang merasa tak enak hati dengan kebaikannya itu.
"Nih buat biaya makan dan minumnya ya. Kamu aja yang bayarin sekalian."
Reatha berlalu, setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas meja. Saat sudah menuju pintu keluar, samar-samar Reatha mendengar suara Hera yang berteriak terima kasih padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...