Seharusnya Reatha sudah bisa menebak jika hal ini akan terjadi padanya. Harusnya Reatha tahu resiko dari menemui ibunya hari ini. Dan karena sudah tahu konsekuensi yang akan ia terima, semestinya Reatha tidak harus bersedih seperti yang ia lakukan saat ini.
Namun tidak. Reatha tidak bisa menahan tangisnya, menahan rasa sedihnya, menahan rasa kecewanya saat melihat bagaimana mesranya dua orang yang ada di hadapannya tadi.
Haruskah ia berpura-pura hingga akhir?
Haruskah Reatha berada diantara kemesraan Reza dan ibunya sementara hatinya sedang terluka karena kembali dipatahkan dengan sangat kejamnya.
Rasanya Reatha ingin mati saja.
"Tha, Reatha!"
"Tha!"
Suara itu semakin terdengar mendekat. Dan Reatha yang sudah bermandi air mata terpaksa berbalik badan untuk melihat lelaki yang tengah memanggilnya.
"Ari?" ucapnya pelan dengan suara yang bergetar.
Lelaki itu memang Ari. Lelaki yang sedang Reatha hindari. Tetapi mengapa semesta selalu membuat mereka berdua bertemu satu sama lain. Mengapa Ari selalu hadir di saat ia sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja seperti ini.
"Ta, ada apa. Apa yang terjadi. Lo kenapa nangis?"
Bukannya menjawab Reatha malah diam di tempat. Bulir air matanya kembali menetes lagi. Saat Ari semakin dekat dengannya, entah mendapat bisikan dari mana, ia malah memeluk lelaki itu dengan erat.
Reatha kembali menangis di sana. Di depan dada bidang milik Ari. Akhir-akhir ini Reatha memang lebih pintar memperlihatkan perasaan sedihnya, alih-alih berpura-pura untuk terlihat bahagia di depan orang lain.
"Tha..." ucap Ari lagi sebelum tangannya bergerak untuk mengelus lembut rambut Reatha.
"Udah, gapapa. Gue di sini kok. Lo jangan nangis lagi ya."
"Udah, Tha. Tenang."
"Gapapa. Semua bakal baik-baik aja kok."
Suara Ari terus mengalun bagai tangga lagu saja. Dan Reatha memilih untuk hanyut dalam kesedihannya sendiri.
Ia tak membagi kesedihan yang sedang ia alami sekarang. Namun kehadiran Ari di sampingnya, elusan lembut dari jemari Ari pada helai rambutnya, serta dekapan Ari yang begitu pas di tubuhnya, membuat Reatha benar-benar merasa tenang dan nyaman.
Untuk sesaat ia merasa damai. Merasa semua akan baik-baik saja sebagaimana yang Ari ucapkan padanya tadi. Hingga, tiba-tiba saja sebuah suara mengisi keheningan yang tercipta.
"Lepasin dia," pekik lelaki yang langsung mendorong tubuh Ari agar segera menjauh dari Reatha.
Ari yang terkejut dengan serangan tiba-tiba itu langsung mengalihkan pandang pada lelaki yang sedang memegang jemari Reatha.
"Lo yang harusnya lepasin dia bangsat," pekik Ari sembari maju satu langkah dan langsung melayangkan tinjunya tepat di wajah Reza.
Dalam satu kali hantaman saja, Reza langsung tersungkur ke tanah dengan sudut bibir yang mengeluarkan sedikit darah.
Namun sebelum Ari maju untuk lanjut memukulnya kembali, Reza sudah lebih dulu bangkit dan melayangkan tinjunya di perut Ari. Alhasil, gantian Ari yang terkapar lemah tepat di depan kaki Reatha.
Reatha tidak mengira aksi pukul-pukulan itu akan berlangsung gesit. Namun ia yang sangat ketakutan hanya bisa berteriak untuk meminta pertolongan.
Ari yang terbaring di atas rumput sudah dibuat babak belur oleh Reza. Sekitar alis dan keningnya memar serta sudut bibirnya mengeluarkan darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...