Sekembalinya dari toilet, Reatha tidak bisa menahan diri lagi untuk tetap tinggal lebih lama di sana. Berada di tempat yang sama dengan Reza membuatnya benar-benar muak.
Buru-buru ia pamit pulang, walau Reatha bisa melihat bagaimana sedih dan kecewanya Wanda saat ia mendadak ingin pulang dan meninggalkan makanan yang sudah tersaji di meja tanpa mencicipinya sama sekali.
Untuk kali kedua makan bersama ibunya harus berakhir dengan cara yang tidak baik.
Seharusnya Reatha belajar dari masa lalu. Jika sudah tahu jika makan bersama Reza dan ibunya hanya akan membuat hatinya menderita, semestinya ia menghindar saja sejak awal.
Namun ia malah dengan sengaja membawa dirinya ke pinggir jurang. Setelah jatuh ke dalam neraka yang ia tahu penuh dengan penderitaan, barulah ia menyesali diri seperti yang ia lakukan sekarang ini.
"Lo nggak salah, Tha. Lo nggak ngelakuin hal yang salah, oke."
"Nggak papa lo tampar dia. Dia pantes dapetin itu kok."
"Sekali lagi lo nggak salah."
"Oke, tarik napas, hembuskan perlahan dan tenang."
Reatha mencoba tersenyum walau terkesan terpaksa. Susah payah ia menenangkan diri meski dalam hati ia sedang berontak.
Menampar Reza sungguh diluar dari kendalinya. Namun membiarkan Reza tetap berbicara malah membuat Reatha makin kesal saja.
Reatha pikir lelaki itu memang pantas mendapatkan tamparannya. Setelah sekian lama ia memendam kekesalannya, pada akhirnya malam ini ia bisa melampiaskan semuanya walau dengan tamparan yang hanya berdurasi sebentar saja. Bahkan tindakannya itu tidak membuat Reza pingsan atau bahkan sampai dimasukkan ke rumah sakit karena menderita luka parah.
Sejak Reza ketahuan selingkuh, ketahuan berpacaran dengan Wanda dan ketahuan akan melangsungkan pernikahan dengan perempuan yang menjadi selingkuhannya itu, sejak saat itu pula Reatha hanya bisa diam saja. Ia diam tanpa banyak menuntut apalagi marah.
Perasaan cinta dan setianya yang sudah ia jaga selama sekian tahun lamanya, terpaksa ia relakan demi kebahagiaan lelaki itu bersama dengan ibunya.
Reatha tak ingin mengacau, walau sebenarnya di sini dialah korban yang sesungguhnya.
Reatha terlalu takut untuk menghancurkan hubungan orang lain. Walau orang itu adalah penghancur hidupnya sendiri.
Gadis baik hati itu terlalu sayang dengan Reza, terlalu cinta pada ibunya, lantas abai dengan perasaannya sendiri.
Tetapi hari ini, saat melihat bagaimana Reza meringis ketika ia menampar wajahnya, entah mengapa ada sedikit rasa puas yang bertengger di dalam dadanya.
Reatha merasa lega karena pada akhirnya ia bisa melakukan itu semua. Walau tidak berhasil mengirim Reza ke neraka, setidaknya ia bisa menunjukkan bagaimana bencinya ia pada lelaki brengsek itu sekarang. Rasa sayang yang telah bertransformasi menjadi rasa benci yang begitu besar.
Langkahnya santai menuju unit apartemennya. Perutnya yang belum terisi makanan kini tidak lagi menjadi pedulinya.
Reatha masih memiliki beberapa bungkus indomie di lemari makanannya. Dan malam ini ia akan menyantap seluruh indomie yang ada di sana untuk merayakan kemenangannya. Ia ingin mengabadikan malam ini dengan berpesta seorang diri.
Langkahnya semakin dekat dengan pintu unit apartemennya. Hentakan sepatu high heels nya semakin terdengar nyaring di tengah sunyinya koridor gedung yang sedang ia lewati.
Hingga langkah jenjang itu perlahan melambat seiring dengan sosok yang kini berdiri di depan tempat tinggalnya. Lelaki itu masih mengenakan kemeja kantoran, dengan bagian lengan yang sudah digulung hingga siku. Ia tersenyum, menyambut Reatha yang tampaknya sedang kaget dengan kehadirannya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...