Setelah sekian purnama memandangi Reatha yang lelap di dalam mobil, Ari akhirnya menyerah dan membawa perempuan itu ke apartemennya.
Padahal tadi Ari sudah tiba di basement apartemen Reatha dengan harap agar perempuan itu bisa bangun dari tidurnya dan segera turun dari mobil. Dan Ari bisa pulang ke rumah dengan selamat.
Namun, lagi-lagi itu semua hanya sekedar khayalan belaka. Sebab Reatha, justru semakin lelap dalam tidurnya.
Merepotkan sekali kan perempuan satu itu. Sudah membuat Ari harus membopongnya karena ia berujung mabuk, sekarang Ari harus kembali membopongnya lagi menuju apartemennya karena Reatha sama sekali tidak bisa berjalan dalam kondisinya yang sedang tidur karena mabuk.
Saat tiba di apartemennya, Ari merebahkan Reatha di kasurnya, membuka sepatu high heels yang membalut kakinya dan memandang Reatha yang tampak sangat cantik?
Ari akui, Reatha memang masih terlihat cantik di matanya, meski kini riasan perempuan itu sudah kacau berantakan bahkan nyaris terhapus semua.
Reatha tetap terlihat cantik dengan wajah lelah sekali pun.
"Lo habisin berapa stok air mata sih hari ini, Tha. Riasan cantik lo tadi sore malah nyaris terhapus semua saking derasnya lo nangis tanpa henti."
Ia merapikan rambut yang nyasar di wajah Reatha. "Lo itu nggak cantik kalau lagi nangis, tau. Gue kan udah bilang berulang kali sama lo. Masih juga nggak dengerin apa kata gue. Nangisin tuh cowok brengsek ngabisin tenaga aja tau nggak, Tha."
Ari melirik jam tangannya. Masih pukul sepuluh malam dan Reatha sudah tidur, sementara ia sedang tidak ada pekerjaan apa-apa lagi sekarang. Selain ikut tertidur juga, tampaknya tidak ada lagi hal menarik yang bisa ia lakukan.
Namun tunggu. Tidur dalam artian Ari saat ini bukan tidur bersama dengan Reatha di tempat yang sama kan?
Bisa bahaya anak orang jika Ari terus bersamanya. Ari bukan lelaki gay yang tidak akan tergoda dengan perempuan. Ari, normal. Sangat normal, bahkan sudah sejak tadi ia berusaha untuk mengendalikan diri agar tidak sampai berulah macam-macam.
Ia menyukai Reatha, namun bukan berarti nekat melakukan hal buruk pada perempuan itu di saat sedang tertidur seperti sekarang. Iya, Ari setidaknya tidak senekat itu.
"Gue telepon Mia aja kali ya," jelasnya sambil berjalan meninggalkan kamar.
Reatha masih tertidur dalam balutan baju yang ia kenakan tadi ke acara pernikahan ibunya. Gaun dengan kain yang memiliki berat yang lumayan. Serta Reatha yang tampaknya tak nyaman meski kini sudah tertidur dengan lelap.
"Tolong sekalian bajunya ya. Yang pas buat dikenakan wanita untuk tidur. Kamu bisa antar langsung ke apartemen saya sekarang juga kan? Saya lagi butuh sekarang soalnya," jelas Ari berbicara dengan perempuan yang ada di balik panggilan telepon yang sedang berlangsung.
"Ukurannya?" Ari kembali mengulang pertanyaan dari Mia. Sambil melirik pintu kamarnya yang sudah tertutup rapat, ia berusaha membayangkan ukuran yang sekiranya akan pas dengan tubuh Reatha yang ramping.
"Emmm, samain dengan ukuran Kak Aqila aja deh. Kebetulan mereka seukuran kok."
Setelah Mia memahami perintahnya, Ari segera memutus panggilan telepon lantas menjatuhkan diri di atas sofa yang ada di ruang tamu.
Apartemennya hanya memiliki satu kamar tidur saja. Satu-satunya ruangan yang paling aman untuk ia tempati tidur selain dapur ya hanya di ruang tamu ini. Pada sofa yang ada di sana.
Walau terkesan sempit dan tak nyaman, setidaknya tempat itu akan jauh lebih mending dibanding harus tidur melantai dengan beralas karpet semata.
Dan Ari rela melakukan itu semua demi membuat Reatha nyaman tidur di kamarnya. Ari memang se-sayang itu pada Reatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...