Agenda meminta restu malam ini seharusnya berjalan dengan lancar andai saja Cleon tidak mengusulkan hal-hal aneh kepada Ari.
Semuanya hampir saja sempurna, andai ia tidak harus dihantui oleh bayang-bayang para sahabatnya yang tampaknya sudah berkolaborasi untuk membuat Ari terlihat menyedihkan.
Ari memang belum bisa menebak apa yang akan sahabatnya lakukan nanti. Namun ia sudah bisa membayangkan bagaimana menyedihkan hidupnya nanti, saat hari itu tiba.
Ari sudah tiba di depan apartemen Reatha. Sudah pukul dua belas malam saat mereka tiba di sana. Terlalu larut dalam obrolan yang tiada putusnya membuat mereka harus pulang larut malam ini.
"Muka lo kok kusut gitu dari tadi. Udah kayak baju yang nggak pernah ketemu setrika aja."
Ari melirik Reatha sekilas, sebelum mendekat untuk mencubit pelan pipi wanita itu.
"Harus berapa kali dibilangin sih, kalau nggak boleh lagi panggil lo gue. Emang lagi sama siapa sih, sama teman main? Kok nggak bisa bedain mana lagi jalan sama calon suami, mana lagi jalan sama teman main. Yang sopan dikit napa."
Reatha terkekeh melihat Ari yang sudah berwajah kusut dan lanjut memarahinya lagi. Terlihat lucu sekali wajah lelaki itu.
"Malah nyengir."
"Lagian kamu kok lucu banget."
"Nah itu baru cakep." Ari sudah menggeser posisi duduknya agar bisa menatap Reatha dengan jelas.
"Lagian apa susahnya sih manggil aku, kamu, kalau lagi sama aku. Kok kayak susah banget gitu."
"Enggak susah sih sebenarnya, cuman faktor terbiasa aja. Aku udah terlalu keseringan manggil lo, gue. Terus sekarang tiba-tiba harus berubah, kan aneh."
Ari mencoba memahami. "Ya udah, senyamannya kamu aja."
Walau Reatha bisa mendengar kalimat barusan, namun raut wajah Ari saat ini sama sekali tidak bisa membuat Reatha tenang.
Di wajah Ari sangat jelas sekali jika ia tidak ikhlas dengan ucapannya barusan.
"Marah nih ceritanya?"
"Lah siapa yang marah. Orang nggak lagi kenapa-napa kok."
"Terus kenapa mukanya ditekuk gitu kalau lagi nggak marah."
"Habisnya kamu, susah banget dibilanginnya."
Reatha kembali terkekeh, lalu ia melepas seat belt bersiap untuk turun dari mobil.
"Aku masuk ya, thanks tumpangannya hari ini."
"Besok aku jemput ya."
Reatha meliriknya. Lalu kembali tersenyum lagi. Setelahnya, barulah ia menggeleng pelan. "Nggak usah, aku bisa ke kantor sendiri kok. Lagian kalau kita berangkat bareng, kamu kejauhan muternya, Ri. Aku kan ada mobil, bisa nyetir juga. Jadi nggak usah lebay pakai acara jemput segala."
"Bukan lebay. Ini tuh namanya ungkapan rasa sayang. Kamu mah nggak pekaan banget jadi perempuan."
"Enggak usah, aku nyetir sendiri aja."Reatha sudah hendak membuka pintu namun sebagaimana sikap asilnya Ari yang sudah mendarah daging di tubuhnya, lelaki itu malah mengunci otomatis seluruh pintu mobil. Membiarkan Reatha terjebak di dalam sana. Bersama dengannya, tentu saja.
"Ri...jangan mulia deh. Udah malem banget nih, aku harus masuk sekarang. Pengen bersih-bersih, terus lanjut tidur."
"Aku jemput besok pagi atau kita bermalam di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...