"Pura-pura bahagia ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan."
Langkah jenjang itu perlahan melambat seiring dengan pemandangan yang ada di depan mata. Apakah hari ini memang berisi tentang keanehan banyak orang.
Reatha tidak mengerti. Terlalu malas untuk mencoba mengerti dunia yang tampaknya selalu bercanda dengannya.
Usai berpisah dari Ari, kini ia kembali dihadapkan lagi dengan sosok lelaki lain. Sosok yang sebenarnya sangat ia rindukan. Tetapi kehadirannya yang begitu tiba-tiba malah membuat rindu Reatha merosot begitu saja.
Dengan wajah datarnya, ia melangkah menuju lelaki yang sedang menantinya. Meski di depan sana ia sedang menebar sebuah senyuman, namun Reatha tetap malas untuk membalasnya dengan ekspresi yang sama.
"Tumben jogging di hari weekend, sayang?" ucap lelaki yang mengenakan sweatshirt berwarna merah marun.
Reatha mendekat, mencium punggung tangan ayahnya lantas berhamburan ke dalam dekapannya. "Ayah kapan datang? Kok nggak ngabarin Reatha dulu sih."
"Sengaja dong. Kan namanya juga surprise."
Suara itu terdengar meriah dari biasanya. Reatha semakin bingung dengan sikap ayahnya yang sangat berbeda dari yang selama ini ia lihat.
Hubungan Reatha dengan ayahnya memang cukup dekat satu sama lain. Terlebih lagi Reatha yang memang sejak kecil hanya hidup dan tinggal bersama sang Ayah.
Namun, menyaksikan ayahnya yang tiba-tiba datang menghampirinya di hari weekend dengan alasan surprise, itu aneh bagi Reatha.
Ayahnya bukan tipikal orang yang romantis. Ayahnya lebih senang menghabiskan waktu di depan layar komputer sembari terus bekerja bagai kuda.
Ia memang sesekali pulang ke Jakarta untuk melihat Reatha. Tetapi tidak pernah satu kali pun datang langsung ke apartemen Reatha hanya untuk sekedar memberinya sebuah kejutan. Bahkan di saat hari ulang tahun Reatha sekalipun.
Biasanya jika pulang ke Jakarta, ayahnya akan menghubungi Reatha via telepon, menyuruhnya datang ke rumah ayahnya yang ada di Menteng. Menghabiskan waktu makan bersama, lalu saling sibuk lagi dengan kegiatan masing-masing.
Ayahnya hanya akan memastikan Reatha sehat dan baik-baik saja. Tanpa pernah berlaku berlebihan seperti yang ia lakukan sekarang.
"Kok Ayah belanja buah sama cemilan banyak gini sih. Aku kan tinggal sendiri doang di apartemen, Yah."
"Gapapa. Teman-teman kamu kan sering main ke sini. Jadi nanti kalau mereka main ke sini, bisa langsung makan aja nggak usah repot-repot untuk keluar beli lagi."
"Ayah ada-ada aja."
Lelaki yang dipanggil Ayah oleh Reatha kini tersenyum dengan sangat lebarnya. Membuat Reatha ikut senang melihat ayahnya yang jauh lebih bahagia dari biasanya.
Seketika pikiran Reatha tentang ibu baru pun melintas begitu saja di dalam benaknya.
"Ayah kok aneh banget sih hari ini. Nggak lagi jatuh cinta kan?" tebak Reatha sembari mengupas kulit jeruk yang dibawa ayahnya.
"Jatuh cinta?" Ayahnya mengulang kalimat Reatha sekali lagi. Tangannya yang kosong bergerak cepat untuk membenarkan letak kacamatanya yang merosot jatuh ke sekitar tulang hidungnya.
"Iya lagi jatuh cinta,"jawabnya sambil tersenyum lagi.
Reatha yang kaget dengan jawaban ayahnya barusan, langsung menghentikan kegiatan kupas mengupas buahnya. Dengan cepat ia mengalihkan tatap pada ayahnya yang sibuk mengelus-elus jenggotnya yang tak pernah berhasil tumbuh dengan baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/349662592-288-k212595.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Literatura FemininaReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...