Aku janji bakal jadi suami terbaik buat kamu.
Kalimat itu kembali terulang lagi dalam otak Reatha yang sudah padat dengan banyak kata. Namun entah mengapa, di antara padatnya kata yang ada di dalam sana, kalimat Ari semalam justru menjadi satu-satunya kalimat yang tampak lebih menonjol dari yang lainnya.
Sambil bersembunyi di bawah selimut, Reatha berteriak dengan kencang, sekencang-kencangnya hingga nyaris membuat telinganya sakit sendiri.
"Ari nyebelinnya bisa sampai level gini ya. Level bikin orang lain jadi melayang-layang sampai ke langit-langit kamar."
Reatha terlalu senang, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak sepenuhnya ia mengerti.
Tetapi terlepas ia mengerti atau tidak, ia hanya ingin bahagia menikmati semuanya. Setidaknya itulah yang ingin ia lakukan sekarang. Tanpa harus terikat banyak hal yang justru hanya akan membuatnya sedih sebagaimana saat dulu ia kehilangan kekasih.
Suara getar ponsel yang ada di atas nakas menyadarkan Reatha dari banyak hal yang sedang ia nikmati sekarang.
Buru-buru ia mendekat, meraih benda itu dan menjawab dengan antusias.
"Iya pagi, Ayah," ucapnya sambil duduk di kasurnya.
Di luar matahari masih malu-malu menampakkan diri. Harusnya masih terlalu pagi bagi ayahnya untuk menelpon Reatha hari ini.
"Oh, mamanya Ari udah ngomong sama Ayah?"
Reatha ikut terkekeh mendengar ayahnya yang juga tertawa di seberang sana. "Iya, sengaja dimajukan karena eyangnya minta buru-buru. Nggak masalah kan nggak ada acara pertunangan resmi?"
Reatha kembali tersenyum mendengar penjelasan ayahnya. Lelaki itu memang selalu mengerti dirinya dengan baik. Dan Reatha selalu senang akan hal itu. Bersama ayahnya Reatha tahu makna sebuah keluarga. Selalu mendukung dan selalu lebih bahagia jika ia juga bahagia.
"Ayah juga harus ikut bahagia. Ikut menikmati hidup. Paling tidak dengan menemukan orang yang tepat untuk menemani Ayah hingga tua. Aku sebentar lagi bakal nikah, dan Ayah udah nggak harus jagain aku kayak dulu lagi. Jadi, Ayah bahagia juga ya. Cari bahagianya, Ayah juga."
Reatha ikut terdiam saat mendengar gumaman pelan dari ayahnya.
Reatha mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi ia selalu menduga jika alasan ayahnya selama ini masih betah bertahan dengan statusnya yang sendiri, mungkin saja karena dirinya. Karena ayahnya tidak ingin jika fokusnya terbagi dari Reatha.
Tetapi sekarang, Reatha sungguh berharap lelaki itu bisa menemui perempuan yang tepat yang akan mendampingi dan bersamanya hingga tutup usia nanti.
"Bye, Ayah. Ayah baik-baik, jangan lupa makan dan kurangi ngerokok sama kafeinnya. Jangan sampai sakit pas anaknya nikahan," ucapnya sebelum benar-benar mengakhiri panggilan.
***
"Katanya Mbak Reatha bakal nikah ya?" tanya Hera saat Reatha baru saja duduk di kursinya.
Pagi ini Reatha datang ke kantor sedikit terlambat karena Ari yang ternyata bangun kesiangan.
Sebenarnya Reatha bisa saja berangkat sendiri ke kantornya tanpa menunggu Ari datang menjemputnya. Namun entah setan apa yang menggerakkan hatinya, hingga ia rela menunggu lelaki itu hingga membuatnya nyaris terlambat datang ke kantor hari ini.
"Tadi pagi saya nggak sengaja dengar obrolan Pak Yatha dan Pak Indra soal pernikahan Mbak Reatha. Emangnya benar ya, Mbak?"
Reatha kembali menahan napas saat mendengar pertanyaan barusan. Ini Yatha dan Indra memang gemar sekali membuat heboh warga kantor ya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Romanzi rosa / ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...