Ari sudah menyeret Reatha menuju kamarnya. Sebelum wanita itu semakin dibuat pusing oleh beragam pertanyaan dari para anggota keluarganya yang masih betah di ruang tengah.
Apalagi ada eyangnya di sana. Perempuan cerewet saingan mamanya yang super duper banyak bahan untuk bertanya. Mulai dari kesukaan Reatha hingga Reatha yang ingin memiliki anak berapa.
Ari hanya mengantisipasi, jika saja eyang sampai melewati batas dan mungkin saja akan membuat Reatha menjadi sedikit tidak nyaman berada di sana.
"Eyang emang gitu orangnya. Sangat cerewet, pokoknya dia itu saingannya Mama di rumah ini. Nggak salah sih kenapa mamaku juga cerewetnya bukan main, ya habis lahir dari rahim perempuan cerewet kayak Eyang."
Ari sudah duduk di tepi kasur, sambil melihat Reatha yang kini sandaran di sofa. Gadis itu tampak kelelahan di sana.
"Maaf ya buat kamu harus capek-capek ke sini, padahal seharian tadi kamu sibuk kerja di kantor," ucapnya lagi, masih menatap Reatha yang ada di sofa.
"Gapapa. Aku senang kok sama jamuan makan malam di sini. Sama orang-orangnya juga. Keluarga kamu ramah-ramah dan baik ya," ucap Reatha apa adanya. Memang begitulah kenyataan yang ada. Iya senang berada di sana.
"Karena aku dari keluarga yang baik-baik, nggak salah kamu nikahnya sama aku, Tha. Aku juga nggak kalah baik loh dari mereka."
Reatha langsung meliriknya sinis. Salah memang jika memuji sedikit. Tahu sendiri tingkat pedenya Ari seperti apa.
"Kamu nggak termasuk. Lagian mana ada anak baik yang kerjaannya gonta ganti pacar. Di mana-mana playboy tetap nggak ada baik-baiknya, Ri."
Ari mendesah pelan. Dalam rentang hidupnya yang tidak singkat ini, sepertinya Reatha akan mengungkit keburukannya itu sepanjang waktu. Dan itu, memusingkan.
"Setiap orang harus punya masa lalu yang kelam, Tha. Itu baru namanya hidup."
"Idih apaan."
"Aku emang playboy, dulunya. Tapi sekarang aku bisa jamin dua ratus persen kalau aku bersih dari kata itu. Kan pilihanku udah tepat, udah ada kamu yang bisa kasih aku segalanya. Aku nggak harus sibuk pindah-pindah hati lagi. Karena apa yang aku cari udah ada di kamu semua."
Alis Reatha nyaris saling bertemu karena keningnya yang dibuat terlalu mengerut. "Emang selama ini kamu nyari apa di orang lain?"
Ari bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju sofa dan berdiri di belakang Reatha. Tangannya melingkar di leher perempuan itu. Sebelum akhirnya Ari merendahkan sedikit badannya agar bisa bertumpu di bahu Reatha.
"Kamu itu bisa buat aku nyaman, Tha. Dengan kamu ada didekat aku aja, tanpa ngapa-ngapain sekalipun aku bisa merasa nyaman. Itu yang nggak bisa aku temui pada perempuan manapun. Tidak satu orang pun dari mantan-mantan aku yang bisa kasih itu." Ari berkata pelan, tepat di samping telinga Reatha yang amat begitu dekat jaraknya dengan bibirnya.
Ada hembusan kecil yang menyapu wajah Reatha. Hembusan napas teratur yang mampu membangkitkan bulu-bulu halus di kulitnya. Reatha seketika merasa menggigil saat hembusan itu menyapu wajahnya.
"Sekarang aku yang pengen nanya sesuatu sama kamu," ucapnya masih dengan posisi yang sangat dekat dengan Reatha. Bahkan kedua tangannya masih melingkar pada leher Reatha.
"Kenapa kamu memutuskan untuk mau menikah sama aku? Sebelumnya kamu selalu menolak, bahkan saat makan malam keluarga di Four Seasons malam itu kamu masih nolak aku kan? lantas apa yang merubah semuanya? Kenapa kamu tiba-tiba berbalik arah dan mau menikah sama aku," tanya Ari ingin tahu.
Sejak malam dimana Reatha mengatakan bahwa ia setuju menikah, sejak itu pula Ari dilingkupi rasa ingin tahu. Hanya saja, selalu tidak ada waktu yang tepat baginya untuk bertanya. Dan malam ini ia justru diberi kebebasan untuk itu.
Reatha termenung sebentar saat ia selesai mendengar pertanyaan barusan.
Ari benar, Reatha sangat menolak pernikahan ini pada awalnya. Hingga malam di mana ia bertemu Reza, berbicara dengan lelaki itu di toilet walau terkesan sangat singkat, namun mampu membuat ia memutuskan sebuah keputusan besar dalam hidupnya.
Mungkin jawaban yang tepat untuk pertanyaan Ari barusan adalah karena ia ingin membuat Reza makin marah, benar-benar cemburu atau semacam pembuktian bahwa ia pun bisa bahagia, pun bisa menikah meski tanpanya.
Iya. Semua keputusan berat itu karena bayang-bayang Reza di dalamnya. Meski tidak bisa Reatha pungkiri juga jika akhir-akhir ini Ari kerap kali membuat jantungnya menjadi tidak aman.
Apakah itu cinta? Sayangnya Reatha tidak ingin terlalu cepat menyimpulkan. Paling tidak ia masih ingin membuktikan lagi perasaan sebenarnya yang ia miliki untuk Ari itu seperti apa.
"Kalau aku bilang cinta mustahil kamu percaya bukan?" tembak Reatha yang langsung membuat Ari sedikit memundurkan dirinya ke belakang.
Ya, itu memang tidak pantas disebut cinta. Reatha tidak mungkin tiba-tiba berubah cinta dalam waktu semalam.
"Karena Reza?" tebak Ari sebelum perempuan itu bersuara.
Ada semburat kekecewaan pada bola mata lelaki itu. Namun tidak ada yang bisa diselamatkan dari kekecewaan itu karena kebohongan terlalu menyebalkan untuk diungkapkan malam ini.
"Kayaknya bakal menyenangkan kalau Reza beneran bisa lihat aku menikah sama lelaki yang selalu dia anggap brengsek selama ini," Reatha tersenyum kecut saat mengingat kembali bagaimana marahnya ia saat menampar wajah Reza malam itu. Saat mendengar lelaki itu menyebut Ari brengsek padahal ia sendiri jauh lebih brengsek dari lelaki yang kini ada di dekatnya.
"Dia memang harus melihat kamu menikah dengan orang brengsek kayak aku," jelas Ari dengan senyum yang berusaha ia ukir di wajahnya.
Dalam benaknya ia berdesis pelan, "Jadi benar lelaki itu alasannya, Tha."
Malam ketika Reatha beradu mulut dengan Reza di toilet, sebenarnya Ari ada di sana. Ia mendengar semuanya dan melihat apa yang terjadi.
"Ari memang playboy, tapi setidaknya dia nggak brengsek seperti kamu."
Kalimat Reatha malam itu, kembali terdengar lagi di dalam ingatan Ari. Kalimat yang begitu sulit ia lupakan begitu saja.
"Tha," ucapnya sambil merapikan helai-helai rambut Reatha yang agak berantakan di sekitar wajah.
"Aku memang punya masa lalu yang suram sebelum memutuskan serius sama kamu. Tapi aku bakal berusaha buat jadi yang terbaik mulai hari ini untuk kamu. Jadi please tuntun aku untuk itu ya."
Tidak sekalipun bola mata Ari lepas dari perempuan yang kini duduk di depannya. Ia meneliti tanpa henti manik mata yang akhir-akhir ini membuatnya begitu candu.
"Aku nggak bakal maksa hati kamu untuk sepenuhnya buat aku kok. Karena aku tahu perasaan kamu sama sekali belum bisa buat aku sepenuhnya. Tapi, dengan kamu berada di samping aku, tetap bersamaku, itu sudah lebih dari cukup untuk aku, Tha."
Ari tersenyum kali ini sambil mengelus pipi Reatha dengan punggung tangannya.
"Aku janji bakal jadi suami terbaik buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Genç Kız EdebiyatıReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...