ARIATHA [28. Gaun Pemberian]

316 13 0
                                    


Reatha masih gusar di tempat tidur. Hari yang ingin ia lenyapkan dari kelender nya telah tiba. Dan ia bingung sekarang.

"Pergi atau tidak ya?"

Pertanyaan itu entah sudah berapa kali ia lontarkan sejak tadi. Bahkan sejak Reatha baru saja bangun tidur, hingga jam sudah menunjukkan pukul satu siang.

Iya, perempuan itu sudah tujuh jam lamanya bermalas-malasan di atas kasur, tanpa beranjak sama sekali. Bahkan ia sudah lupa untuk mengisi perutnya dengan minuman apalagi makanan.

Pikirannya hanya berpusat pada ibunya. Pada hari dimana ia akan menjadi wanita paling sedih sedunia.

Hari pernikahan ibunya yang sudah sejak lama menyita perhatian Reatha akhirnya tiba juga. Ia pun masih mengingatnya dengan baik, saat terakhir kali ia berbicara dengan ibunya via telepon.

"Hari minggu kamu libur kerja kan, sayang? Ingat datang ke acara Ibu, ya. Kalau kamu nggak datang, Ibu pasti bakal sedih banget."

Reatha mendesis pelan, "Ibu bakal sedih banget kalau aku nggak datang ke acara nikahannya, terus kalau gantian aku yang datang ke sana, Ibu tahu nggak sih kalau aku bukan hanya sedih lagi, tapi rasanya kayak udah pengen mati."

Reatha memberontak di atas kasur, menutupi diri dengan selimut dan berteriak sekencang-kencangnya, hingga mendadak terdengar suara ketukan di kamarnya.

Reatha yang menyadari suara itu seketika menutup mulut, membuka selimut dan segera bangun dari tempat tidur. Ia berjalan cepat menuju pintu.

"Bi Kinan?" ucapnya saat membuka pintu kamarnya.

Perempuan paruh baya itu tersenyum padanya, lalu menyodorkan sebuah bingkisan pada Reatha.

"Bibi temuin di depan pintu, Non. Kayaknya pengantar paketnya langsung naro aja tanpa nungguin Non Reatha buka pintu lebih dulu. Mungkin dia capek mencet bel atau bisa juga terlalu lelah menunggu Non Reatha buat bukain pintu," jelas Bi Kinan berusaha menjelaskan secara rinci kemungkinan yang bisa saja terjadi.

"Habis ngapain, Non? Dari tadi Bibi mencet bel tapi nggak ada yang bukain. Sekalinya Bibi masuk sendiri, eh malah denger Non teriak-teriak kayak orang kesurupan."

Reatha hanya menelan liur. Menolak menanggapi pertanyaan barusan.

Usai menyerahkan bingkisan itu, Bi Kinan bergerak ke pantry. Mengeluarkan sop yang dibawanya, serta beberapa buah segar yang ia beli di supermarket saat dalam perjalanan ke apartemen Reatha tadi.

"Bibi masak sop, kali aja Non Reatha pengen makan," ucapnya lagi sambil sibuk kembali memasukkan stok makanan untuk Reatha ke dalam kulkas.

"Aku kan udah bilang nggak usah repot-repot nganter makanan ke sini, Bi. Masih aja nggak mau dengar."

Reatha memutari sofa, meletakkan bingkisan yang diberikan Bi Kinan tadi, lalu beranjak menghampiri wanita paruh baya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.

Beberapa teguk air dingin berhasil membasahi tenggorokan Reatha.

Andai saja Bi Kinan tidak datang dan mengetuk apartemennya, Reatha mungkin saja masih berdiam diri di kasur bagai orang sakit saja.

"Mau Bibi bukain?" tawar Bi Kinan, menyodorkan buah jeruk kepada Reatha.

Gadis yang sama sekali belum membasuh wajahnya dengan air itu, kini mengangguk pelan.

"Boleh deh, kebetulan hari ini aku belum makan apa-apa, Bi."

"Loh...Non. Ini nih yang kadang bikin Bapak khawatir. Jangan di biasakan lah, kalau sakit kan Bapak juga yang ribet, Non."

ARIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang