"Dasar anak nggak tahu diri. Nggak tahu terima kasih, pembuat onar, nakal," pekik Nea saat Ari baru saja tiba di ruang rawat inapnya.
Ari yang sama sekali tidak mengerti apa-apa hanya bisa membungkuk di depan pintu dengan tangan yang sedang sibuk menutupi wajahnya agar tidak terkena bantal yang sedang dilempar oleh mamanya.
"Ma," ucapnya lirih saat melihat mamanya masih sibuk mencari barang untuk menimpuk tubuhnya.
"Berhenti manggil Mama, Mama nggak punya anak pembuat onar kayak kamu."
"Ya udah kalau gitu aku manggil apa nih jadinya. Manggil Miss Nea aja?" jawab Ari malah mencoba untuk melucu.
"Papa, pokoknya Mama nggak mau tahu ya. Mulai sekarang Shaenette Multimedia nggak boleh menjadi tanggung jawab Ari lagi. Anak kurang ajar kayak dia nggak patut diberi hati apalagi perusahaan."
Ari langsung menciut saat mendengar ancaman barusan. Dengan cepat ia menghampiri mamanya. Walau Nea sedang berontak di atas kasurnya, Ari tetap berusaha mendekat agar bisa memeluk perempuan yang sedang kesal itu.
"Mama kok marah-marah mulu sih kerjaannya. Entar cantiknya luntur loh," bujuk Ari yang sudah memeluk perut mamanya dengan erat.
"Huhhh, mulai lagi aksi drama-dramanya," keluh Liam saat melihat anak dan juga istrinya yang sama-sama konyolnya.
Karena tak ingin terlibat dengan drama mereka berdua, ia memilih untuk menepi ke sofa. Tempat teraman untuk rebahan dan menonton tayangan televisi yang sedang berlangsung di sana.
"Ma, Ari kan udah nurutin kemauan Mama. Udah bela-belain ketemu Delina padahal jadwal Ari lagi padat banget. Bukannya disayang-sayang anaknya, ini malah digebukin segala. Nggak sayang anak banget sih."
Ari masih memasang wajah sok imutnya di depan Nea. Sebelum mamanya benar-benar murka dan membuat Ari kehilangan perusahaan kesayangannya, maka selama itu pula Ari akan berjuang hingga titik darah penghabisan.
"Siapa suruh kamu gebukin anak orang. Bikin malu keluarga aja. Ri, Mama tuh nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi seorang preman loh. Kok kamu malah jadi liar gini. Belajar dari mana, haaa?"
Nea sudah berusaha melepaskan lengan Ari yang melilit perutnya. Membiarkan lelaki itu sedikit berjarak dengannya. Setelah fokus Ari benar-benar sudah terpusat padanya, Nea menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Ari dengan tajam.
"Papa kamu aja nggak pernah ada riwayat gebukin orang sama sekali. Nah kamu? baru bisa memimpin satu perusahaan saja sudah belagu kayak penguasa satu Ibukota saja."
Ari terdiam, berusaha untuk mencerna dengan baik maksud dan kalimat dari mamanya. Dan dari semua penjelasan barusan, jujur Ari merasa bingung.
"Mama tahu aku habis gebukin orang?"
"Dan Mama juga tahu kalau kamu hampir membuat anak orang meninggal karena pukulan maut kamu yang nggak pakai perkiraan itu."
"Lagian kamu tuh kurang kerjaan atau gimana sih, Ri. Kenapa masih sempat-sempatnya gangguin anak orang?"
"Kali ini berantemnya karena apalagi. Karena perempuan?"
"Kamu kapan tobatnya, Ri? Nunggu Mama meninggal dulu baru kamu sadar dan jadi anak yang berbakti, nurut apa kata orang tua."
"Ini nih alasan Mama nyuruh kamu cepat-cepat nikah. Biar kamu buruan sadar, biar hidup kamu lebih bagus dan terarah. Bukannya amburadul kayak gini dan bikin kepala Mama mau pecah karena ulah kamu yang makin hari makin tidak bisa dikendalikan sama sekali."
Ari terdiam. Kenapa mamanya bisa tahu apa yang terjadi hari ini dengannya. Sementara di tempat kejadian tadi siang, Delina sama sekali tidak ada di sana. Paling tidak, orang yang paling mungkin mengadu pada mamanya kan harusnya hanya Delina saja.
Tetapi Delina sama sekali tidak di sana. "Lalu jika bukan Delina, terus siapa?" tanya Ari di dalam hati.
"Kenapa sekarang nggak ngerengek lagi. Sudah tahu kalau kamu salah?"
Ari berkedip beberapa kali. Sedang memilah pertanyaan yang tepat untuk diajukan kepada mamanya.
"Mama tahu dari mana kalau hari ini aku terlibat perkelahian."
"Ya jelas tahulah. Orang yang kamu gebukin kan anak dari pelanggan tetap di butik Mama."
"HAAAA....Anak dari pelanggan tetap di butik Mama?" jelas Ari dengan leher yang seolah tercekat.
Nea sudah terlalu lelah menghadapi Ari dengan segala tingkah brutal anaknya itu. Sekarang ia butuh rebahan untuk melepas segala penat yang sedang ia rasakan.
Ari yang melihat mamanya sudah berbaring di kasur, dengan cepat bergeser ke samping, pada kursi yang sudah tersedia di sana.
Dengan telaten ia memasangkan selimut untuk mamanya dan mengelus lembut tangan wanita yang sedang marah-marah padanya.
"Ri, Mama tuh nggak minta banyak sama kamu. Mama cuman pengen kamu nurut apa kata orang tua, jadi anak baik, bukannya meresahkan keluarga kayak gini. Nggak harus jadi lelaki terkuat untuk bisa diakui orang lain, Ri. Dan satu lagi, saling gebuk-gebukan nggak bakal menyelesaikan masalah dengan baik."
"Iya, Ma. Ari nggak bakal ngulangin lagi."
"Selalu ngomong gitu, tapi apa? selalu diulangi lagi kan. Masih syukur keluarga yang kamu gebukin nggak sampai lapor polisi. Gimana kalau dia nekat untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Kamu bakal mendekam di balik jeruji besi, Ri. Perempuan mana yang mau menjalin hubungan dengan mantan napi."
Ari lelah, selalu disudutkan setiap kali ada masalah. Seolah dialah sumber dari segala kekacauan yang tercipta. Padahal menurut Ari, ia hanya sedang membela keadilan semata. Ia hanya ingin melindungi Reatha dari lelaki brengsek seperti Reza.
Dan lagi-lagi niat baik itu dinilai salah di mata orang tuanya.
"Mama nggak mau dengar penjelasan Ari dulu kenapa bisa aku gebukin dia?"
"Apa alasannya, emangnya karena masalah apa? Masalah perempuan lagi kan?"
Kali ini Nea bangkit kembali dari posisinya yang semula. Ia sudah duduk tegak sambil menatap Ari dalam-dalam.
"Makanya kamu tuh berhenti berurusan dengan perempuan nggak benar, Ri. Mama kan udah ngasih kamu banyak list perempuan baik-baik. Selain cantik, kaya raya, dia juga memiliki attitude yang baik. Nggak seperti perempuan-perempuan yang selama ini kamu jadikan boneka kamu doang."
"Ma, harus berapa kali sih kita bahas soal ini. Aku udah dewasa, Ma. Bukan anak remaja yang tidak tahu apa-apa sama sekali. Aku bisa milih yang terbaik buat aku. Aku bisa nentuin pilihanku sendiri tanpa campur tangan Mama lagi. Jadi please berhenti ngatur hidup aku."
"Mama cuman pengen yang terbaik buat kamu, Ri. Kamu tahu apa sih soal tolak ukur kehidupan yang baik."
"Terbaik buat Mama sendiri, bukan berarti terbaik buat Ari."
"Ri, Mama kamu lagi sakit. Nggak usah nambah beban pikirannya lagi. Sudah, nggak usah dilanjutin lagi debat sengitnya," celetuk Liam ikut nimbrung dalam obrolan mereka berdua.
Ari akhirnya mengalah. Papanya benar kali ini. Mamanya sedang sakit, seharusnya ia membiarkan wanita itu beristirahat lebih dulu dan berhenti membahas hal-hal berat pada mamanya yang bisa saja memicu Nea menjadi stress berat lagi.
"Delina bilang dia setuju menjalin hubungan dengan kamu. Mama harap kamu juga setuju menjalin hubungan yang lebih serius lagi dengan dia. Sebentar lagi kamu udah kepala tiga, Ri. Menunda terlalu lama bukan hal yang baik."
Ari mendesah, ingin mengelak namun keadaan mamanya sedang tidak mendukung sama sekali. Jadilah ia hanya menunduk, menatap ujung kemejanya yang sudah kusut di mana-mana.
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya tahun ini kamu harus nikah," ucap Nea dengan datar sebelum ia kembali rebahan di bantalnya.
"Ma..."
"Pa, tolong panggilin suster buat bersihin luka di wajahnya Ari."

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Genç Kız EdebiyatıReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...