Langkah Ari terburu, tidak sabar untuk tiba di tempat yang dimaksud oleh mamanya. Jujur, Ari khawatir jika Reatha sedang dalam masalah. Mengingat bagaimana mamanya yang ribet dan super cerewet mengalahnya cerewetnya sales kompor gas yang kadang ia temui di jalan.
Saat tiba di Dela Cafe, Ari mengedarkan pandang ke segala penjuru ruangan. Meneliti satu demi satu meja yang ada di sana.
Sebelum akhirnya pandangannya jatuh pada kursi yang sedikit jauh dari keramaian.Kursi paling pojok yang dekat dengan arah ke toilet. Buru-buru Ari melesat ke sana.
Melihat dua perempuan yang nampak sibuk mengobrol itu, membuat Ari ingin secepatnya ikut serta dalam obrolan keduanya.
"Eh Ari," sapa Nea saat melihat anaknya yang berjalan mendekat.
Reatha yang tadinya sibuk berbicara kini mengalihkan pandang ke arah yang sama. Tempat di mana Ari sedang berdiri. Mereka berdua sempat saling pandang selama beberapa detik. Sebelum Reatha memutus untuk mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Ari mencium punggung tangan mamanya lebih dulu sebelum memutuskan duduk di kursi. "Mama kok nggak ngomong dari tadi kalau pengen nyamperin Reatha."
"Reatha nya nggak di sapa dulu nih?" singgung Nea saat melihat gerak gerik Ari yang sejak tadi hanya fokus pada dirinya seorang.
Reatha sontak mengangkat kepala saat mendengar namanya disebut. Buru-buru ia mengalihkan pandang dari ponsel yang tadinya sedang sibuk ia tatap.
"Udah lama, Tha?"ucapnya dengan kikuk.
Reatha hanya mengangguk lalu tersenyum. Kegiatan singkat yang membuat Ari tersadar dengan warna bibir Reatha yang..."Cantik, bibirnya," ucapnya sambil mengacak pelan rambut Reatha dengan spontan.
Iya, hari ini Reatha memang menggunakan warna lipstik yang disarankan oleh Ari tempo hari
Kenapa begitu? ya karena, Reatha entah kenapa malah membuang lipstik-lipstiknya yang lain dan hanya menyisakan lipstik yang disukai oleh Ari? Anggap saja Reatha sedang kehilangan akal sehatnya.
Mendengar celotehan anaknya barusan membuat Nea dengan cepat memukul lengan Ari. Cukup kencang hingga membuat Ari sedikit meringis karenanya.
"Otak kamu bisa dicuci dulu nggak sih biar nggak ngeres mulu pikirannya," keluh Nea yang tidak habis pikir dengan Ari yang super ajaib.
"Lah, Ari kok salah mulu sih di mata Mama. Heran."
"Jelas salah lah. Lagian kamu tuh nggak bisa apa kalau muji Reatha dengan kata cantik aja nggak usah ngikut bibirnya segala. Kayak yang cantik dari Reatha itu cuman bibir doang. Emang kenapa kamu muji-muji bibirnya dia. Pengen sosor bibir lagi kayak kemarin pas di apartemen kamu. Ha?"
Nea sudah menunjukkan kedua tanduknya dalam artian sudah siap berperang dengan anaknya sendiri. Dan untuk menghindari peperangan yang tidak penting itu, Ari sebagai anak baik yang cinta kedamaian akan menarik diri untuk menjadi pihak yang mengalah di sini.
"Oke Ari salah. Lagian bibir Reatha memang cantik, Ma. Apa salahnya sih muji calon istri sendiri. Bentar lagi juga sah jadi suami istri kok. Muji bibir doang kok nggak dibolehin begini. Iya kan, sayang?" ungkap Ari dengan bibir lemesnya. Tanpa peduli bagaimana tanggapan Reatha saat ini.
Reatha melihat senyum yang mengarah padanya. Senyum hangatnya Ari yang tampaknya ia sukai akhir-akhir ini. Melihatnya saja membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.
Lalu entah tersihir oleh mantra apa, Reatha malah mengangguk pelan sambil berucap dengan suara lirih yang nyaris tidak terdengar. "Iya, gapapa kok."
Reatha mengiyakannya, Mengiyakan bahwa ia akan menjadi istrinya Ari. istri dari lelaki yang sebentar lagi akan menikahinya. Mengiyakan bahwa tak masalah jika Ari memuji bibirnya yang cantik?
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Romanzi rosa / ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...