Sudah pukul tujuh pagi saat Reatha baru saja bangun dari tidurnya. Dan ia hanya kebagian tidur selama tiga jam saja. Itupun setelah Reatha sudah berkeringat karena lelah berolahraga.
Dengan tubuh lemah Reatha berjalan ke sana ke mari dengan begitu terburu. Hari ini ia ada jadwal meeting dengan atasan tepat jam delapan pagi.
Dan Reatha belum mandi, belum sarapan, belum apa-apa, masih sementara menyiapkan baju yang akan ia kenakan ke kantor hari ini.
"Oh my god, kok bisa gue sampai kesiangan kayak gini sih. Reatha, semalaman lo ngapain aja hei. Kenapa bisa telat bangun kayak gini sihhh," umpatnya kepada diri sendiri sambil berlari ke dalam kamar mandi.
Semua karena Ari. Karena lelaki itu membuatnya galau setengah mati. Alhasil Reatha tidak bisa tidur dengan damai. Dan akhirnya berujung kesiangan seperti ini.
Saat kembali dari kamar mandi, Reatha lari terbirit menuju kasur. Mengambil baju yang telah ia siapkan tadi.
Baru saja ia hendak mengenakan bajunya, ponsel yang ada di atas nakas malah bergetar hebat. Dari nada dering yang terdengar lama, sepertinya kali ini sedang ada panggilan masuk di sana.
Antara ingin melanjutkan mengenakan baju, atau melipir ke dekat nakas untuk meraih ponselnya yang terus berdering tanpa henti.
"Itu siapa sih yang nelpon pagi-pagi, ganggu banget,"ucapnya kesal dengan langkah jenjang yang ia miliki.
Sebelum menjawab, Reatha membenarkan posisi outer yang baru saja ia kenakan. Lalu matanya membulat sempurna ketika melihat nama yang tertera di sana.
"Apa lagi sih ini. Nggak ada capeknya apa gangguin hidup gue terus," jelasnya setengah berteriak.
Kali ini Reatha memilih abai saja. Tanpa peduli dengan ponselnya yang terus riuh dengan nada dering, ia berlalu menuju meja rias untuk membenarkan rambut dan juga polesan wajahnya.
Jika biasanya Reatha berlama-lama di depan cermin, kali ini ia benar-benar melakukannya dengan sangat padat dan singkat.
Andaikata ia masih bisa mempersingkat lagi waktunya di depan cermin, mungkin Reatha akan dengan senang hati melakukannya. Asal ia tidak telat sampai ke kantor. Asal ia bisa menghadiri meeting sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya.
"Ahh shit, mobil gue kan masih di bengkel," lagi-lagi Reatha mengumpat kepada diri sendiri.
Selain terlambat bangun, kekesalan Reatha kian bertambah lagi saat ia harus berangkat ke kantor menggunakan angkutan umum di waktu genting seperti ini. Hanya saja, tidak banyak yang dapat Reatha lakukan selain mendesah kesal kepada diri sendiri.
Ia sudah bergegas meninggalkan apartemennya. Dengan langkah besarnya menyusuri koridor tempat itu.
Sambil berjalan, Reatha membenarkan ikat rambutnya yang sedikit berantakan. Tas kerja yang ia selipkan di lengan, membuatnya sedikit kesulitan untuk berjalan.
"Lain kali kalau lo kewalahan bawa barang bawaan, lo bisa langsung hubungi gue aja biar ada yang bantuin lo. Gue selalu siap siaga kok, buat lo."
Reatha terkejut, suara itu sangat dekat dan begitu familiar dengan telinganya.
Ketika ia mendongak, tas yang tadinya ia sampirkan di lengan kini sudah berpindah posisi ke tangan Ari. Jelas Reatha kembali bingung dengan kehadiran lelaki itu di sana.
"Kenapa lo ada disini?" tanya Reatha dengan alis mengerut hingga nyaris keriting.
Oke, Ari menelponnya beberapa kali pagi ini. Dan Reatha tidak menjawabnya sama sekali. Lantas kenapa orang itu tiba-tiba ada di sini sekarang.
Untuk apa lagi hei...
"Mobil lo masih di bengkel kan?" tanyanya tanpa peduli dengan pertanyaan dari Reatha sebelumnya.
Saat mereka sudah tiba di depan mobil Ari, Reatha terdiam di samping mobil tersebut. Ia berpikir sejenak.
Sudah setengah delapan pagi. Ia memiliki waktu tiga puluh menit lagi untuk bergegas ke kantor. Sementara jalan raya yang lumayan padat hari ini, jelas akan memakan habis waktunya di jalan.
Dengan begitu, menunggu taksi datang membuat ia membuang waktu terlalu lama lagi. Sementara di depan matanya saat ini sudah ada Ari yang siap memberikan pelayanan untuknya.
Haruskah ia menolak dengan alasan gengsi garis tinggi.
"Jadi lo kesini buat jemput gue?"
Ari tersenyum lebar, hingga menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Gue harus membuat lo percaya sama gue kan? Dan cara-cara sederhana ini semoga bisa buat lo berubah pikiran untuk nerima gue jadi pacar lo. Kalau bisa sih secepatnya. Biar lo bisa rasain gimana bahagianya pacaran sama gue."
Reatha tidak berkomentar, lebih memilih diam namun dengan jemari yang sudah lebih dulu membuka pintu mobil yang ada di sampingnya.
Reatha memilih menurut dengan Ari hari ini. Bukan karena ia sudah menerima lelaki itu. Bukan karena ia mau menjalin hubungan dengannya. Ia hanya terlalu takut terlambat ke kantor hari ini. Dan tidak ada pilihan yang lebih baik selain ikut dengan Ari.
"Seat belt nya, Tha," ucap Ari mengingatkan, saat keduanya sudah ada di dalam mobil.
Namun Reatha terlalu sibuk dengan ponselnya. Ia tengah membalas beberapa pesan yang masuk di sana. Agenda meeting penting yang akan diadakan dengan atasannya di kantor pagi ini membuat Reatha super sibuk mempersiapkan banyak hal via ponselnya.
Dan kesibukannya kali ini justru berujung pada situasi rumit yang sama sekali tidak pernah ia harapkan sebelumnya.
Ari sudah terlalu lelah menunggu Reatha membenarkan seat belt nya. Karena capek menyuruh dan perempuan itu malah sibuk dengan diri sendiri, Ari berinisiatif untuk mengenakan seat belt perempuan itu.
"Seat belt nya, Tha. Dikenakan dulu sebelum kita jalan," ungkapnya dengan posisi yang sangat dekat dengan Reatha. Saat Ari menarik tali pengaman yang ada di bagian kiri Reatha, keduanya tanpa sengaja saling bersentuhan satu sama lain.
"Eh sorry, gue ngagetin lo ya."
Tanpa rasa berdosa karena sudah mengagetkan Reatha, Ari malah tersenyum lebar tanpa dosa sama sekali.
Ia sudah duduk tegak, tapi belum juga kembali ke kursinya yang semula. Melainkan masih memiringkan badan agar bisa bertatapan langsung dengan Retha yang sedang....salting?
"Hari ini pake lipstik warna lain lagi, ya?" ucap Ari yang kembali menjatuhkan pandang ke bibir Reatha.
Reatha mengingatnya. Saat terakhir kali mereka jalan berdua dan Ari memuji warna lipstik yang Reatha kenakan. Dan sekarang lelaki itu kembali mengingatkannya?
"Lain kali pakai warna yang biasa aja, Tha. Lo lebih cantik pakai warna soft dibanding warna terang kayak gini," ucap Ari sambil mengakhiri obrolan unfaedahnya kali ini dengan elusan pelan di puncak kepala Reatha.
Reatha sempat menyentuh kembali rambutnya setelah Ari sudah melajukan mobilnya dan fokus dengan jalan raya. Dan ia mendadak kikuk setelahnya.
Arah pandang Reatha melirik-lirik Ari yang ada di sampingnya.
Harusnya orang yang duduk di sana adalah Ari yang selama ini ia kenal. Sebab wajahnya masih masih. Masih seperti Attarazka Adhikari lelaki kaya raya yang menjadi temannya sejak SMA. Masih Ari yang gemar gonta-ganti perempuan.
Tetapi mengapa hari ini lelaki itu mendadak berubah? Mengapa Ari yang ada di sampingnya saat ini sangat amat perhatian melebihi perhatiannya seorang teman. Bahkan ia memperhatikan Reatha cocoknya memakai warna lipstik soft ataukah yang cenderung terang.
Dan Ari mengaturnya untuk mengenakan lipstik dengan warna yang ia suka? Warna brown nude yang katanya membuat Reatha terlihat jauh lebih cantik.
Hei....ini Ari beneran pengen pedekate sama gue ya? Kok gini banget tingkahnya sejak semalam. Gue kayaknya nggak siap woy, bisa paham nggak sih, Ri. Reatha menjerit dengan begitu kencang dan lantang. Dengan harap Ari akan mendengarnya. Ari akan peka padanya. Bahwa Reatha tidak sanggup dengan sikap Ari yang terlalu...manis padanya?
"Siang ini gue jemput lagi ya. Kita makan siang bareng di tempat biasa. Mau kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...