Ari harus menerima nasibnya kali ini. Jika sebelum-sebelumnya ia bisa menghindar, kali ini ia sama sekali tidak bisa lolos dari mamanya.
Pagi-pagi sekali Ari mendapat telepon dari papanya, yang mengabarkan kepada Ari tentang pertemuannya dengan Delina hari ini di Deenswiss.
Jika papanya sudah ikut turun tangan seperti ini, Ari tidak bisa berkutik lagi. Sebab jika ia salah mengambil sebuah keputusan, Ari bisa-bisa kehilangan perusahaan yang selama ini sudah ia bangun dengan sepenuh hati.
"Papa lihat sekarang kepemilikan Shanette Multimedia sudah pindah tangan ke kamu ya. Kira-kira kalau Papa iseng mengambil alih perusahaan itu lagi, gimana. Kamu gapapa?"
Ucapan papanya tadi pagi, membuat Ari kembali menghembuskan napas kasar. Jika sudah mengancam dengan membawa nama perusahaan segala, Ari jelas tidak bisa menolak lagi. Selain menyukai perempuan, Ari sangat mencintai pekerjaannya.
Dan untuk melepas perusahaannya begitu saja hanya karena menolak keinginan mamanya untuk menemui Delina, rasanya Ari tidak akan pernah rela melakukan itu semua.
"Mama emang paling bisa menjebak anaknya sendiri," gumam Ari sambil meneguk habis kopi instan yang baru saja dibuatnya.
Karena terlalu kesal dengan papanya, pagi-pagi sekali Ari sudah berangkat ke kantor. Pelarian paling mujarab saat suasana hatinya sedang buruk memang hanyalah kantor. Bertemu dengan layar komputer dan tumpukan berkas-berkas penting membuat Ari menjadi jauh lebih baik.
"Weitsss, rajin amat nih Pak Bos kita yang satu ini," jelas Kalil yang baru saja tiba di pantry kantor.
Sebagaimana yang Ari lakukan saat ini, Kalil pun mengambil satu buah cup kopi, dan menyeduh kopi instan di sana.
Salah satu kegiatan rutin yang mereka lakukan sebelum memulai hari di kantor.
Hidup sebagai bujang lapuk yang belum juga menikah di saat usia mereka sudah siap untuk menikah, menjadikan deretan para lelaki tampan itu lebih sering sarapan kopi di kantor dibanding sarapan di rumah atau apartemen mereka sendiri.
"Zidan mana nih, kok belum nongol juga. Biasanya kan dia yang paling gercep masuk kantor duluan."
"Lagi nemenin Reatha di bengkel katanya. Tadi pagi mobil Reatha mogok, terus nggak sengaja ketemu Zidan di jalan. Makanya dia bantuin Reatha ke bengkel dulu. Paling bentar lagi juga tuh anak sampai di kantor."
Ari melanjutkan meneguk kopinya. Memilih diam saja tanpa menanggapi kalimat Kalil barusan atau hanya sekedar untuk menciptakan pertanyaan baru.
Jika sudah membahas soal Reatha begini, entah mengapa ia lebih suka menyibukkan diri dengan pikirannya sendiri dibanding mengungkapkannya secara langsung apa yang sedang ia rasakan.
Harusnya memang ia menolak saja saat Reatha memintanya untuk melupakan semua yang terjadi malam itu.
Bagaimana ia bisa melupakan apa yang pernah terjadi antara mereka berdua, sementara Ari kerap kali bertemu dengan Reatha. Sementara Reatha selalu saja berada di dalam ruang lingkupnya saat ini.
Mendengar nama perempuan itu di sebut saja, Ari kembali dibuat teringat lagi dengan kejadian malam itu. Lantas bagaimana jika harus bertemu secara langsung setiap hari?"
"Ri? Ari? Woy loh kok bengong aja."
Ari langsung tersadar saat tangannya berhasil dipukul oleh Kalil. Secepat kilat ia melirik sahabatnya yang sedang memasang wajah bingung di depannya saat ini.
"Ha, kenapa Lil?"
"Lagi mikirin apa sih? Lo lagi ada masalah ya?" jelas Kalil yang mulai penasaran dengan perubahan sikap Ari.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...