"Loh kok dibatalin Tha, gue udah bilang Kyla sama Alula nih. Mereka malah udah on the way ke sini. Yah, lo mah. Panas-panas tai ayam doang. Tadi aja semangat banget pengen nonton bareng kita. Sekarang malah main batalin seenak jidat."
Reatha yang sedang repot dengan tentengannya berusaha untuk mendengar Freya berbicara lewat panggilan telepon yang berlangsung sekarang.
"Gimana ya, Frey. Soalnya mamanya Ari barusan nelpon nih, minta gue ke rumahnya hari ini juga. Nggak bisa ditunda. Gue juga maunya nonton bareng kalian, tapi ini gimana dong, gue mana bisa nolak."
"Elah...belum nikah aja udah susah diajak jalan. Ya udah deh, gue berangkat bareng Alula bareng Kyla aja. Kan udah beli tiket juga. Sayang kalau dibiarin hangus gitu aja."
"Yah...gue nggak ikutan dong."
"Lo ngurus ibu mertua lo aja sono. Nggak usah ngikut-ngikut sama wanita lajang kayak kita-kita. Have fun ya sama makan malamnya bareng keluarga suami."
Kalimat yang terdengar barusan sekaligus menjadi penutup untuk panggilan telepon yang tadi berlangsung. Reatha harus menelan ludah banyak-banyak sembari menerima nasibnya yang malang.
Tadi pagi, saat pamit dari toko rotinya Freya, ia memang mengusulkan kepada sahabatnya untuk nonton di bioskop sehabis ia pulang kerja. Freya mengiyakan bahkan sudah mengajak Alula dan Kyla.
Namun diluar dari rencana Reatha sebelumnya, ia sama sekali tidak mengira jika mamanya Ari akan tiba-tiba menelpon dan meminta Reatha untuk makan malam di rumahnya malam ini juga.
Padahal Reatha sudah siap dengan bajunya. Sudah hendak berangkat juga ke rumah Freya agar bisa sama-sama berangkat ke bioskop dengan teman-temannya yang lain. Tetapi itulah kenyataan yang ada. Selalu tidak pernah sejalan dengan harapan.
Sambil berkaca, Reatha memeriksa ponselnya. Menurut penjelasan dari Nea, malam ini Ari akan menjemputnya.
Reatha harus meratapi nasib buruknya yang lain. Nasibnya yang harus bertemu Ari. Sia-sia ia menghindar selama seharian ini. Toh ujung-ujungnya ia harus berhadapan dengan lelaki itu juga.
Belum sempat Reatha membaca pesan-pesan yang masuk di whatsappnya, bel seketika berbunyi berkali-kali. Menandakan ada seseorang yang sedang menunggunya untuk membuka pintu di depan sana.
Buru-buru Reatha berlari ke sumber suara. Tanpa memeriksa monitor, ia langsung membuka pintu.
"Udah siap pergi sekarang?" jelas Ari yang berdiri di depan pintu. Lelaki itu datang dengan busana yang sangat amat santai.
Celana pendek chino, dipadu dengan kaos putih polos berlengan pendek. Lengkap dengan topi baseball hitamnya yang terbalik.
"Gue ambil tas dulu di dalam," jawab Reatha sambil berlari menuju kamarnya.
Saat Reatha berjalan keluar menuju pintu apartemennya, tatapnya langsung tertuju pada Ari yang sedang rebahan di sofa.
"Nggak bisa gue. Lagi ada acara di rumah nyokap. Lain kali deh, ngumpulnya," ucap Ari sambil berguling-guling di sofa yang sangat sempit untuk tubuhnya yang sedikit berisi.
"Jam berapa emang?" ucapnya lagi, membuat alis Reatha mengerut dan tertarik untuk mendekat.
Sekarang ia malah kepo dengan seseorang yang sedang berbicara dengan Ari di sana.
"Gue nggak janji, tapi diusahain deh. Entar gue nyusul sama Reatha kalau emang sempat."
"Hem," Ari bergumam pelan, dengan tatap mata yang sudah tertuju pada Reatha yang berdiri di sisi sofa.
"Iyyee, kalau sempat gue nyusul," jelasnya sebelum mengakhiri panggilan.
Reatha masih berdiri di posisi semula. Masih dengan wajah yang penuh tanya. "Siapa?" tanyanya dengan penuh rasa keingintahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...