"Gue belum makan, bisa nebeng makan di tempat lo kan?" jelas Ari sembari berjalan masuk ke dalam apartemen Reatha. Sebagaimana yang selama ini biasa lelaki itu lakukan.
Reatha yang sudah hafal betul dengan kebiasan Ari, kini memilih menutup pintu apartemennya sebelum menyusul Ari ke sofa.
Lelaki itu membeli dua bungkus nasi padang, lengkap dengan cemilan yang beragam bentuk.
"Es krim?" celetuk Reatha saat mendapati beberapa bungkus es krim coklat di dalam kantongan plastik yang terpisah dengan nasi padang dan snack yang dibeli oleh Ari.
"Buat lo," ucapnya sambil meletakkan dua buah piring di atas meja beserta gelas untuk menuang kopi yang dibelinya di cafe yang dekat dengan apartemen Reatha.
"Nggak mau ikutan makan juga?" ucap Ari lagi mencoba menawarkan kepada Reatha.
Namun Reatha spontan menggeleng. Perutnya sudah hampir meledak karena menu makan malam dari Bi Kinan yang sangat banyak. Dan jika harus menambahnya lagi dengan satu porsi nasi padang, bukankah perut Reatha akan meledak.
"Enggak deh. Lo makan aja," ucap Reatha sambil mendorong piring yang disodorkan oleh Ari agar menjauh dari hadapannya.
"Lagi diet, atau emang udah makan?"
"Udah makan kok. Tadi Bi Kinan habis nganterin makanan ke sini. Lo makan aja gih."
Ari mengangguk. Sebelum lanjut menyantap makanannya, ia mengeluarkan satu buah es krim cornetto yang sudah Reatha kembalikan ke dalam kantong plastik tadi.
"Kalau gitu lo ngemil aja, gue makan dulu. Biar lo jatuhnya nggak liatin gue makan doang di sini."
Reatha mendorong es krim yang disodorkan padanya. "Enggak ah, ngapain makan es krim malam-malam."
"Tha."
"Iya, Ari."
Arii mengedipkan mata beberapa kali kepadanya. Membuat Reatha bisa dengan jelas melihat bekas luka yang ada di sekitar alis lelaki itu. Ada sebersit rasa bersalah yang sedang meliputinya, saat melihat wajah lebam Ari yang ada di mana-mana. Meski luka-luka itu sudah ditutupi plester luka, tetap saja Reatha merasa kasihan dengan Ari yang harus babak belur karenanya.
"Maafin gue ya, Ri. Gara-gara belain gue tadi siang, muka lo jadi hancur kayak gini," jelas Reatha sambil mengelus lebam yang ada di sekitar alis Ari.
"Eh kok malah nyalahin diri sendiri gini sih. Kan bukan salah lo, Tha. Tapi salah si lelaki brengsek itu."
Wajah Ari seketika geram lagi saat mengingat bagaimana menyebalkannya wajah Reza tadi siang.
"Harusnya gue yang minta maaf sama lo. Karena tadi sore nggak sempat nepatin janji buat jemput lo di kantor. Maaf ya, Tha."
Kalimat itu menjadi pengingat bagi Reatha yang awalnya sudah melupakan kejadian tadi sore. Walau sebenarnya ia masih agak kesal juga sih jika mengingat lagi ketidakhadiran Ari di kantornya tadi.
"Mama gue jatuh pingsan. Terus dirawat di rumah sakit karena kondisinya lagi kurang baik. Jadinya seharian ini gue jagain dia di rumah sakit. Sorry ya."
Ketika mendengar alasan dari Ari, Reatha merasa bersalah karena sudah menuduh Ari dengan beragam pikiran buruknya. Padahal lelaki itu sedang tertimpa masalah makanya tidak bisa datang menjemputnya. Bukannya sengaja tidak datang dan membuat Reatha kecewa.
"Oh ya. Terus mama kamu gimana sekarang. Udah mendingan?"
Reatha memang benar-benar panik. Ia sempat bertemu mamanya Ari beberapa kali. Pertama saat acara perpisahan sekolah di SMA, kedua saat Ari lulus kuliah, dan terakhir saat Aqila, kakaknya Ari menikah satu tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...