ARIATHA [23. Ari Nembak Lo?]

313 17 0
                                    


"Makan siang bareng?"

Reatha masih mengingat tawaran Ari barusan. Beberapa menit yang lalu sebelum ia keluar dari mobil lelaki itu.

"Tuh anak habis makan apaan sih. Kok malah makin centil gitu," gumam Reatha sambil mengibaskan rambutnya dengan kasar.

Ia sudah memasuki ruang meeting dengan punggung yang sudah menyatu dengan sandaran kursi. Sambil merenung, ia memutar-mutar kursinya dengan pikiran yang ke mana-mana pula. Namun hanya terpusat pada satu orang belaka.

ARI.....

Lelaki yang amat sering sekali berurusan dengannya akhir-akhir ini.

"Reatha Talisya, Reatha, Reatha...."

Entah sudah kali ke berapa Galih memanggil Reatha namun gadis itu sama sekali tidak peduli dengan panggilan dari atasannya.

Reatha justru masih sibuk sendiri berkelana di dalam alam khayalnya sendiri.

Ia masih sibuk memikirkan Ari. Hingga tanpa ia sadari, jika satu lelaki itu sudah membuat dunianya bergeser ke benua lain. Benua yang tampaknya hanya dihuni oleh dirinya sendiri saja.

Wajar jika ia sudah tidak peduli lagi dengan sekitarnya saat ini. Sebab bagi Reatha, di dalam dunia khayalnya tidak ada yang bernama rekan kerja apalagi atasan. Hanya ada ia dan alam pikirannya yang rumit.

"Mbak, Mbak Reatha," panggil Hera sambil menyikut lengan Reatha beberapa kali.

Tetapi sama sekali tidak ada respon dari Reatha. Perempuan itu masih sibuk berkelana dalam dunia khayalnya sendiri sambil menatap lurus ke depan. Dengan tatapan yang jelas saja kosong. Sebab jika pandangan Reatha tidak kosong, harusnya ia tahu siapa yang sedang berdiri di depan sana dan sedang menatapnya dengan kesal.

"Reatha Talisya," pekik Galih dengan kencang bahkan ia yang geram nyaris memukul meja karena kesal. Untung saja emosinya masih bisa terkontrol dengan baik.

Reatha langsung mengelus dada. Tatapnya seketika teralih ke sumber suara yang membuat ruang meeting mendadak heboh. Saat melihat Galih menatapnya dengan geram, ia seketika kikuk dan "Pak....mau dimulai sekarang meetingnya?"

Galih menghembuskan napas kasar. Hidungnya masih kembang kempis menahan kesal. Untung saja Reatha adalah karyawan terlama yang ia miliki di dalam ruangan ini. Andaikan Reatha karyawan baru, mungkin ia akan mempertimbangkan bekerja dengan karyawan yang tidak bisa fokus saat harusnya mereka serius dengan pekerjaannya.

"Kok kamu nggak ngasih tahu saya sih Her, kalau Pak Galih udah masuk ruang meeting," bisik Reatha kepada Hera usai menyerahkan materi meeting mereka hari ini kepada Galih, sang atasan.

"Udah saya sikut-sikut dari tadi, Mbak. Udah saya panggil juga sampai saya capek sendiri manggil Mbak Reatha mulu. Tapi Mbak Reatha nggak dengar juga. Malah semakin tenggelam dengan khayalan Mbak Reatha sendiri."

Meski terus berbicara, Hera tetap melirik ke depan agar atasannya tak curiga jika mereka sedang ngobrol satu sama lain.

"Emangnya Mbak Reatha lagi ada masalah apa sih? Kok kayak serius gitu menghayalnya."

Reatha secepatnya menggeleng. Tatapnya kembali fokus ke layar lebar yang ada di depannya.

"Ahh enggak kok, nggak ada masalah apa-apa. Eh, udahan ngobrolnya Her, nanti Pak Galih lihat kita dan malah negur lagi."

Hera mengangguk dan membiarkan waktu berlalu melewati mereka berdua.

***

Freya melepaskan appron yang ia kenakan saat sahabat-sahabatnya telah tiba di toko roti miliknya.

ARIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang