Karena harus menjemput Reatha dulu, Ari sedikit terlambat tiba di kantor. Hari kerja yang membuat jalanan cukup padat kendaraan membuatnya terjebak macet beberapa kali.
Namun keterlambatannya kali ini sama sekali tidak membuat Ari kesal apalagi marah kepada diri sendiri.
Ia justru memasuki lobby kantornya dengan senyum yang sama sekali tidak bisa lepas dari wajahnya. Saking senangnya, bahkan hari ini Ari menyapa setiap orang yang ia temui di kantor.
Salah satu kebiasaan baru Ari yang membuat para pegawai kantornya saling bertanya satu sama lain.
"Weitsss, ada berita bagus apalagi nih sekarang. Satu kantor sampai dibuat heboh karena ulah lo yang...aneh nggak sih menurut lo?" ucap Zidan sambil melirik Kalil yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Mereka bertiga sedang berjalan menyusuri koridor kantor. Menuju ruang kerja Ari yang terletak paling pojok.
Kalil yang sedang dimintai pendapat hanya bergumam pelan tanpa melirik langsung Zidan apalagi Ari.
Ia terlalu sibuk. Terlalu sibuk dengan ponselnya yang tentu saja sedang menampilkan balon-balon udara berisi rentetan chat dari kekasihnya yang super posesif.
"Ada apaan sih, kok bahagia banget mukanya?" tanya Zidan lagi masih belum puas dengan Ari yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Habis menang lotre ya?"
"Atau menang proyek?"
"Atauuu...habis tidur bareng gebetan baru?"
"Wahhhh jangan-jangan Cleon benar lagi semalam. Lo nggak ngumpul bareng kita karena sibuk unboxing perempuan di kamar hotel langganan."
Ari yang merasa ternodai dengan tuduhan-tuduhan dari Zidan langsung memukul kepala sahabatnya itu dengan kertas-kertas yang ada di tangannya.
"Lo kalau ngomong bisa lebih benar dikit nggak sih. Asal sat set sat set aja, nggak pake rem tangan dulu."
Zidan yang sedikit kaget dengan pukulan yang didapatkan barusan langsung cengir penuh rasa bersalah. Padahal ia hanya sedang berusaha mengungkapkan apa yang sedang ada dalam pikirannya saja. Tapi malah berujung kena marah oleh Ari. Plus di beri bonus pukulan di kepala pula.
Kalil yang menyaksikan tragedi singkat barusan hanya bisa memegangi perut karena terguncang akibat tawanya yang kencang.
"Ya sorry. Gue kan asal nebak doang. Mana tahu kalau jawabannya justru salah."
"Sudah tahu salah, banyak alasan pula."
Ari menggelengkan kepala, sebelum mengambil tempat di kursi singgasananya. Sementara Zidan dan Kalil, mereka berdua menuju sofa, duduk manis dan kembali melirik Ari yang masih terlihat bahagia.
"Ada apaan sih? Jangan buat kita-kita mati penasaran dong, Ri."
"Lo aja sana yang mati penasaran, Dan. Gue mah ogah," celetuk Kalil dengan santainya. Ia sudah membuka cemilan yang ada di atas meja. Menikmatinya sendirian tanpa peduli dengan Ari dan Zidan yang masih sibuk terjebak obrolan tanpa ujung pangkal itu.
"Gue udah mantapkan hati untuk menikah tahun ini. Tinggal nunggu pihak ceweknya aja untuk acc," jelas Ari dengan mantap sembari mengingat kembali obrolannya dengan mamanya tadi pagi.
Tentang Reatha dan rencananya untuk menikah, Ari benar-benar tidak main-main soal itu. Ia sudah memutuskan dengan matang. Walau terkesan sangat singkat namun kali ini ia yakin dengan semua rencananya itu.
Ari tidak akan mengulur waktu lebih lama untuk pacaran jika Reatha memang setuju untuk menerimanya menjadi kekasih. Ari sudah terlalu yakin hingga tidak peduli lagi dengan hal-hal buruk yang mungkin saja bisa menimpanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Literatura FemininaReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...