"Maksudnya?"
"Lo dan gue pacaran. Kita jalani hari selayaknya seorang pasangan."
"Ehhh, enggak enggak enggak....apa sih, Ri. Jangan aneh-aneh deh," jawab Reatha sambil menggelengkan kepala dan mengibaskan tangan di depan dada.
Ia tidak setuju dengan ajakan Ari barusan. Lagipula Ari mengajaknya pacaran bagai anak kecil yang sedang mengajak temannya main saja.
"Nggak aneh, Reatha. Kalau lo nggak coba untuk buka hati dengan orang baru, lo selamanya nggak akan bisa keluar dari masa lalu. Lo bakal terjebak selamanya di sana."
"Tapi nggak harus dengan lo juga kan? Gila apa."
Reatha tidak percaya Ari akan menawarkan hal seperti ini padanya. Menjadi sepasang kekasih. What?
"Terus kalau nggak sama gue, lo mau sama siapa? Lo yang sempurna emang paling cocoknya disandingkan dengan gue yang juga tidak kalah sempurna, Tha. Gue cakep, kaya, mapan, dan-"
Reatha melotot, ia sudah tidak tahan. Baginya Ari sudah keterlaluan dalam hal berhalusinasi.
"Dan lo harusnya udah tahu dong, kalau gue lelaki yang paling jago ciuman," ucap Ari dengan kedipan mata yang menggoda.
Reatha memilih mundur satu langkah. Sedikit menjauh dari Ari yang tampaknya sedang tidak dalam mode aman.
Apa karena sekarang sudah lewat jam sepuluh malam. Sehingga pikirannya sudah melanglang buana ke dunia khayal.
Walau tidak bisa Reatha pungkiri juga sih, jika Ari memang pemilik ciuman terhebat yang pernah ia temui sejauh ini. Ia sudah membuktikannya malam itu. Ari, membuatnya lupa diri hingga hampir kebablasan.
Tapi....menjalin hubungan dengan Ari, sahabat sekaligus lelaki yang seharusnya tidak pernah dan haram masuk dalam list lelaki yang akan menjadi pacarnya tentu bukanlah hal yang bisa ia terima dengan mudah hanya karena Ari adalah lelaki pemilik ciuman terhebat yang pernah ia temui.
Ari tuh terlalu badboy nggak sih buat gue yang terlalu setia, bisiknya dalam hati ketika memikirkan Ari yang sedang menawarkan diri untuk menjadi kekasihnya.
"Nggak usah geer. Ciuman lo tempo hari nggak ada apa-apanya buat gue," jelasnya dengan penuh dusta.
Sementara Ari lagi-lagi mengerling manja. "Yakin, ciuman waktu itu nggak ada apa-apanya buat lo? Padahal gue bisa ngerasain kok kalau waktu itu lo juga menikmati ciuman gue dengan baik, Tha. Bahkan kita hampir ... oke baiklah kita nggak usah bahas itu sekarang, bukan saatnya untuk bahas yang udah lalu."
Ari mendekat pada Reatha. kembali menepis jarak yang tadinya menjauhkan mereka. Reatha hanya menatapnya bingung, dan Ari gemas melihat wajah lucu wanita itu.
Ari membelai rambutnya, membawa helai-helai rambut yang nyasar ke sekitar bibirnya untuk kembali ke belakang telinga. Jantung Reatha seketika berdegup kencang saat jemari Ari menyapu bibirnya dengan pelan. Ada gemuruh kencang yang meronta di dalam dirinya sekarang.
Untuk waktu yang sangat singkat Ari berhasil membuat tubuhnya panas dingin seketika.
"Gimana kalau kita coba lagi sekarang. Kali aja gitu lo udah lupa gimana rasanya ciuman gue yang hebat ini."
"ARIIII!!!" Pekik Reatha sembari menimpuk Ari dengan bantal sandaran kursi yang ada di atas pahanya. Sementara yang ditimpuk hanya senyam senyum saja tanpa henti. Jelas sekali wajah mengejek Ari di sana.
"Lo makin malam makin bahaya deh. Takut gue."
"Untuk hal kecil yang gue lakuin pun gue tetap bakal minta kesepakatan dari lo kok, Tha. Gue juga ngerti tata krama kali. Jadi lo tenang aja. Gue nggak sebahaya yang lo pikirin kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...