Reatha mencoba untuk berhenti memikirkan. Berhenti terlibat dengan manusia yang bernama Ari. Namun semakin ia berusaha, semakin bayangan lelaki itu menggentayanginya.
Hera ada di sana. Menemani Reatha menyeduh kopi. Di sela waktu bekerja seperti ini, menikmati kopi seduh memang sering kali menjadi pilihan yang tepat untuk menenangkan kepala dari padatnya pikiran.
Hanya saja, kali ini Reatha ingin menenangkan pikirannya dari Ari bukan dari pekerjaannya yang menumpuk.
"Mbak awas gelasnya jatuh," pekik Hera saat menyadari gelas kopi milik Reatha hampir saja tidak tepat sasaran di atas meja.
Terlalu fokus melamun membuat Reatha acuh dengan sekitarnya. Bahkan seolah tidak sadar dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang.
Jika saja ia sedang berkendara, mungkin mobil yang ia tumpangi sudah jatuh ke jurang karena hilang kendali.
"Astaga, hampir aja gelas ini mendarat ke lantai," keluh Reatha sambil tersenyum kaku kepada Hera.
"Ada apa sih, Mbak. Kok dari pagi kerjaannya malah melamun terus. Lagi ada masalah ya?"
Reatha hanya menatap Hera dengan canggung. Ingin cerita pun rasanya ia bingung harus cerita dari mana dulu. Jadilah ia diam membisu. Paling tidak itulah fase paling aman untuknya saat ini.
"Atau Mbak Reatha masih nggak enak badan ya? Kalau masih sakit pulang aja, Mbak. Nggak usah maksain buat kerja segala," jelas Hera saat mengingat Reatha yang tidak masuk kerja kemarin karena izin sakit.
"Pak Galih juga pasti bakal ngerti kok. Nanti kalau dia nyari Mbak Reatha, biar saya bilangin ke dia kalau Mbak Reatha masih sakit."
Hera memang begitu perhatian padanya. Dan Reatha cukup menghargai usahanya barusan. Namun, pulang ke apartemen saja tidak bisa menjamin akan membuat kondisi Reatha menjadi lebih baik.
"Nggak kok Her, aku gapapa. Kecapean aja, makanya lesu kayak gini."
Reatha kembali menyesap kopinya. Berharap segala risaunya akan segera hilang dari pikirannya.
"Lo di sini ternyata," ucap Indra yang baru saja datang.
Lelaki itu tampak lusuh dengan beberapa kertas-kertas penting di tangan kanannya.
"Her, tolong kopinya satu dong. Lagi ribet nih, nggak bisa bikin sendiri," pintanya sambil melirik Hera yang sedang kosong tidak ada kerjaan apa-apa selain menyesap kopinya yang sudah hampir habis.
"Ada apa, Ndra. Lo nyariin gue?"
"Mamanya Ari tuh nyariin lo di lobby. Samperin gih, kasian nunggu lama."
"Mamanya Ari?" ucap Reatha masih juga tak percaya.
"Hmm," jawab Indra seadanya. Sekarang ia sudah fokus dengan kopinya, tanpa peduli akan Reatha yang sudah berubah jadi makin gusar saja.
"Gue cabut ya. Masih banyak kerjaan nih," pamitnya pada Reatha dan Hera. Setelah maju dua langkah dari pantry, Indra kembali berbalik badan lagi, melirik Reatha yang masih betah di tempatnya tadi.
"Ingat, mamanya Ari nungguin lo di lobby. Jangan bengong aja di situ. Kasian orang tua disuruh nunggu sendirian di sana," ucapnya, lalu benar-benar pergi dari hadapan Reatha sekarang.
"Mamanya Ari mau ngapain ke sini?" keluh Reatha singkat lalu melangkah menuju lobby kantornya untuk menyusul perempuan yang dimaksud oleh Indra barusan.
***
Ketika tiba di sana, Reatha memang melihat Nea yang sedang duduk di kursi tunggu lengkap dengan wajah gelisahnya. Wajah khas orang yang sedang menanti sesuatu. Menanti Reatha tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...