"Menikah dengan Ari?" celetuk Reatha dengan kesal. "Gila apa gue, nikah sama dia."
Mobil Reatha sudah tiba di halaman rumah ayahnya yang terletak di daerah Menteng. Dan sepanjang perjalanannya menuju tempat itu, tidak pernah satu detik pun Reatha lewatkan tanpa mengoceh kepada diri sendiri.
Reatha masih kesal, masih tidak bisa menerima kenyataan, tentang Ari dan segala kejutan yang ia suguhkan padanya hari ini.
Ya, Reatha dibuat terkejut karenanya.
"Lo kan tau Tha kalau Mama gue sakit-sakitan. Ini aja dia baru keluar dari rumah sakit kemarin. Lihat gue nikah tuh bikin dia bahagia. Dan kalau gue nikahnya bukan sama lo terus sama siapa lagi," ucap Ari saat mereka dalam perjalanan pulang tadi, saat Reatha meminta penjelasan padanya.
Oke, baiklah. Mamanya Ari memang sakit, sering banget sakit, tapi tidak dengan menikah dengannya juga kan?
Gila aja. Ari pikir nikah itu ajang mengasah bakat akting apa? Maksa orang buat nikah sama dia segala biar mamanya nggak sakit-sakit lagi. Hellow...gue nggak ada rasa apa-apa sama dia kali.
"Tha. Reatha?"
Reatha terkejut saat pintu mobilnya diketuk seseorang. Rupanya sudah sejak lama ia diam di dalam mobil tanpa keluar sama sekali, padahal ia sudah tiba di halaman rumah sejak tadi.
Reatha tersenyum pada sang ayah, sebelum akhirnya ia bergegas keluar dan menyapa lelaki paruh baya itu.
"Kok diam di mobil. Kenapa, ada masalah?" tanyanya kepada Reatha.
Keduanya berjalan perlahan memasuki rumah. Reatha menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan ayahnya barusan. "Enggak kok, Yah. Ini tadi lagi istirahat sebentar, habisnya lelah banget nyetir dari kantor sampai rumah."
Ayahnya mengelus pelan rambut Reatha yang tergerai indah. "Kamu ini, istirahat kok di dalam mobil. Kalau capek itu ya istirahatnya di dalam rumah, atau paling tidak rebahan di kamar. Gimana sih."
Reatha hanya terkekeh pelan mendengar celotehan ayahnya. Salah juga sih, ia membuat alasan barusan.
"Makanya kamu itu nurut kata Ayah. Dibilang disupirin Pak Aman aja, tapi malah ngeyel mulu. Capek sendiri kan jadinya."
"Ayah," seru Reatha sambil melotot pada ayahnya.
Reatha memang seringkali lelah, tapi jika ayahnya sudah mengeluarkan jurus-jurusnya untuk memanjakan Reatha seperti ini, maka ia akan menolaknya mentah-mentah.
Bagi Reatha, selagi ia bisa melakukannya sendiri, maka selama itu pula ia tidak akan merepotkan orang lain.
"Aku gapapa kok. Capek kan manusiawi. Kalau capek, ya masih bisa istirahat. Bukannya harus manja-manja dan ngerepotin orang segala."
"Ngerepotin gimana, orang Pak Aman nggak ada kerjaan juga kok. Justru dia bakal senang kalau disuruh antar jemput kamu."
"Pak Aman memang bakal senang, cuman akunya yang nggak senang, Yah. Udah gede gini juga, masih aja disupirin segala."
Cakra akhirnya menyerah. Berdebat dengan anaknya memang tidak pernah membuatnya menjadi pemenang. Selain menghembuskan napas kasar, ia bisa apalagi memangnya.
"Ya udah kalau gitu. Selagi kamu nyaman dan tenang, Ayah bisa apa selain iyain kemauan kamu."
Reatha tersenyum lalu lanjut memeluk ayahnya dari samping saat keduanya sudah tiba di ruang tengah. Membuat lelaki yang sedang dipeluk itu, pun balas memeluknya.
"Kamu kok habis dari kantor tapi dandanannya kayak gini," tanya Cakra saat melihat Reatha yang datang dengan menggunakan mini dress yang terlalu tidak mungkin rasanya dikenakan ke kantor untuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
Romanzi rosa / ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...