Tiba-Tiba Di Korea

284 11 0
                                    

Hampir menyita waktu tujuh jam setengah, waktu bukan sebentar tetapi bukan juga waktu lama. Layaknya kepingan CD rusak, Mama G memang tak begitu memahami bahasa Korea Selatan. Tetapi melihat nada saling beradu emosi membuat perasaan seorang ibu melemparkan kode buruk.

Rangkaian kalimat terdengar dari para lelaki dengan umur tak terpaut jauh, dari ketiga putranya yang dia yakini dengan penerkaan bahwa mungkin itu adalah kawan satu grup kian membuatnya yakin. Ditambah semu-semu suara lelaki beberapa bulan lalu melakukan solo job, dan berkunjung ke kediamannya juga terdengar jelas.

Koper-koper untuk dia, sang suami, dan kedua putranya telah Mama Gi persiapkan secara diam-diam. Surat izin sekolah pun telah selesai diurus oleh pengasuh putranya.

"Loh sayang, ada apa ini? Kenapa koper-koper di bawah? Memang kita akan kemana?"

Mama Gigi spontan menghentikan acara merapikan isi koper, sembari mengingat apakah ada tertinggal atau tidak. Lamunan menerka apa yang terjadi pada ketiga bujang rantau, membuat meresahkan hati hingga berulangkali melamun. Netranya menatap sendu sang suami, berharap untuk kali ini saja sang suami peka.

"Ada apa, Sayang?"

Otak terlalu bergelut dengan isinya, lidah kelu membelit-belitkan rangkaian kalimat. Mama G tiba-tiba memeluk Papa Fi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pelukan hangat selalu hangat Mama Gi rasakan, sedikit membuat Mama G merasa mampu menceritakan pada sang suami. Hidungnya sedikit menutupi bau abstrak sang suami. Keringat dan bekas parfum sang suami bercampur abstrak.

"Ada apa?"

"Kau mandi saja dulu, baju ganti telah aku siapkan di kasur. Ayo kita bergegas ke bandara! Aa Athar sama adek Aja udah di mobil, Pa."

"Tapi ada apa dulu, Ma?"

Mother Gi menghela nafas mengendalikan kecemasannya. Ketiga putra jauh dari pengawasan, membuat pemikiran selalu cemas memikirkan. Papa Fi kian kebingungan sukar menerka apa yang dicemaskan sang istri.

Mama Gi memang duduk tenang di tempat, tetapi kakinya tak henti-henti mengetuk-ngetuk. Resah kian bertambah kala dia menghubungi ketiga putranya tetapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Kursi tunggu pesawat bergerak terus-menerus kian membuat Papa Fi heran dengan sang istri.

"Ma, kenapa kau resah sekali? Apa yang terjadi sebenarnya? Kita hendak kemana? Kenapa kau hanya mengajak ke bandara tanpa menyebut kita hendak kemana?"

"A--Aa, Mas, dan A--Abang, Pa."

"Dimas, Jamal, dan Juan maksud Mama?"

Mama Gigi menganggukkan kepala. Beruntunglah perasaannya tengah cemas, sehingga dia tak dapat meluapkan kegemasan dengan pertanyaan sang suami yang bak lawakan.

"Mereka! Mereka kenapa, Ma? Ada apa dengan tiga bujang rantau kita?" tanya Papa Fi, pada akhirnya ikut tertular cemas.

Melihat sang istri tiba-tiba mengatur jadwal sedemikian rupa untuk langsung ke Korea, padahal semalam mereka sehabis berteleponan walau sekilas membuat Papa Fi cemas.

"Aku takut Aa, Mas, dan Abang kenapa-napa, Pa. Ditambah aku sempat mendengar apabila mereka sepertinya tengah memarahi putra kita hingga bertengkar. Ya, walau aku tak paham bahasa Korea tetapi mendengar nadanya saja sudah jelas, Pa."

Papa Fi ikut cemas, dia menerka-nerka apa yang terjadi pada ketiga bujang rantaunya? Mengapa perasaannya mengatakan apabila hal negatif terjadi?

"Apakah Dimas, Jamal, dan Juan bisa dihubungi, Ma?"

Mama Gi menggelengkan kepala lemas. Apabila ketiga putranya telah bisa dihubungi sedari pagi, maka sudah pasti dia menyidang ketiga putranya dengan bertanya. Namun sayang seribu sayang, terakhir dilihat ketiga putranya masih jam kala terakhir panggilan video.

Papa Fi menghela nafas panjang lalu merangkul bahu sang istri dari samping memberikan kekuatan. Pemanggilan untuk maskapai ke Korea dipilih Mama Gi telah mulai disiarkan. Keresahan masih belum luntur, melainkan kecemasan lah kian pekat dalam benak.

Father and Mother (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang