Setelah Clairy meninggalkan rumah itu sengan jemputan yang telah menunggunya di halaman, baik Alesha, Juan, maupun Melvin kembali ke kamarnya masing-masing.
Setelah beberapa saat, Alesha mengetuk pintu kamar Juan. Ia membawakan kopi hitam buatannya yang ingin ia berikan pada Juan sembari menjalankan rencananya untuk mengobrol di dalam kamar laki-laki itu.
"Apa aku boleh masuk?" tanya Alesha.
"Masuklah."
Alesha melangkahkan kaki memasuki kamar bernuansa kelabu yang bersih itu. Pemilik kamar sedang berdiri di depan cermin menggosok-gosok rambutnya yang masih basah selepas mandi.
"Kamu sudah mandi?" tanya Juan ketika ia melihat bayangan Alesha dari cermin tampak peremnpuan itu telah berganti baju.
"Sudah."
Alesha memilih duduk di satu-satunya kursi yang ada di kamar itu. Juan menerima uluran cangkir kopi untuknya ditambah gerakan bibirnya tanpa suara mengatakan bahwa ia berterima kasih.
Alesha memperhatikan wajah Juan dengan senyuman yang sangat manis. Hal itu membuat Juan menaikkan sebelah alisnya disaat ia sedang menyesap kopinya.
"Kenapa tersenyum seperti itu?" tanya Juan.
Alesha menggelengkan kepalanya tanpa memudarkan senyumnya. Lalu helaan napas panjang menyusul di antara senyumnya.
"Apa perasaanmu baik-baik saja?"
"Memangnya ada apa dengan perasaanku?"
Sebelum membalas pertanyaan Juan, Alesha terlebih dahulu mendekatkan kursi yang memiliki roda itu untuk mendekat pada Juan yang kini duduk di tepian ranjangnya.
"I know, it's hard to see your 'hardest goodbye' everyday. So I ask you, are you okay?"
Juan merasakan jari-jari Alesha menyentuh rambut bagian depannya yang masih setengah basah. Ia memilih untuk menggenggam tangan itu yang membawa tangan itu untuk ia kecup.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."
Alesha memundurkan sedikit kursi yang ia duduki dengan bantuan kedua kakinya. Ia melirik ke kalender yang salah satu tanggal di sana telah diberi lingkaran menggunakan spidol.
"Hari itu akan tiba. Hari yang aku bahkan terlalu takut untuk membayangkannya." senyumnya memudar.
Juan mencari manik mata kekasihnya yang bahkan tidak sempat ia minta secara resmi untuk menjadi kekasih.
"Hei. Kita sudah pernah membahasnya, bukan? Kita masih bisa bertemu."
"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku adalah satu dari banyaknya manusia yang egois dan tidak bisa jauh dari kekasihnya?"
Juan tahu malam ini tidak akan berakhir baik-baik saja. Mereka akan berdebat jika saja ia tidak menghentikan pembicaraan mereka.
"Alesha, kita tidak akan membahas hal itu malam ini."
Alesha mengerutkan keningnya kecewa.
"Kamu selalu seperti itu. Terkadang aku merasa bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama karena prinsip kita yang jauh berbeda. Kamu dengan prinsipmu, aku dengan prinsipku."
"Prinsip mana yang sedang kamu permasalahkan, Alesha?"
"Aku yang tidak mau kita berjarak. Jarak yang sesungguhnya. Kamu yang akan kembali ke kotamu dan aku yang akan tetap di sini. Aku ingin kamu dan aku selalu bersama."
Juan mengusap wajahnya sendiri. Ia dan Alesha selalu berada di pusaran masalah yang sama.
"Kita hanya perlu memperjuangkannya, Alesha. Lagi pula jarak yang kamu khawatirkan tidak sejauh itu, kurasa."
"Terlebih setelah kedatangan Clairy dan setelah fakta itu aku dengar. Aku rasa—"
Belum selesai Alesha dengan kalimatnya, Juan berdiri dari tempatnya dan menuju pintu kamarnya untuk membukanya dan berkata, "Cukup Alesha, jika kita tidak berhenti di sini kamu akan membahas hal-hal tidak masuk akal lainnya. Kamu harus istirahat sekarang."
°°°
Keesokan harinya, Alesha dapat dengan jelas melihat punggung Melvin yang sedang membuat sarapan karena hari itu adalah gilirannya.
Sebelum mendekat dan menyapa Melvin, terlebih dahulu ia mengetuk pintu kamar Juan tapi tidak ada balasan.
"Juan, apa kamu belum bangun?"
Suara Alesha dapat terdengar oleh Melvin dan membuat pria itu membalikkan tubuhnya.
"Juan pergi pagi-pagi sekali. Dia bilang harus pulang,"
Alesha menerima penjelasan Melvin dengan berjalan gontai ke arah meja makan. Ia memeriksa ponselnya, tidak ada satupun pesan dari pria itu untuknya.
"Apa dia kesal karena pembicaraan kami semalam?" gumam Alesha dengan memajukan mulutnya.
"Semalam kalian bertengkar?"
Melvin tengah melepas appron yang ia kenakan, ia sebenarnya sudah sangat terlambat untuk berangkat tetapi pagi tadi Juan memberinya pesan untuk dapat membuat sarapan terlebih dahulu karena hari ini adalah hari ujian mata kuliah terakhir yang akan dihadapi Alesha.
"Sebenarnya kami tidak benar-benar bertengkar, mungkin hanya aku yang menyebalkan."
Pria itu kini berjalan menuju meja makan dan menarik keluar kursi di seberang milik Alesha untuk ia duduki.
"Apa kau selalu seperti itu? Maksudku, selalu mengalah dengan sikap Juan yang menghindari pembahasan yang seharusnya menjadi hal paling penting dalam hubungan kalian."
Alesha memotong omelet yang Melvin buat dan meletakkan potongan kecil ke piringnya.
"Entahlah,"
"Kau tidak cemburu setelah mengetahui bahwa mereka adalah sepasang mantan kekasih?"
Melvin memainkan alisnya menggoda emosi Alesha, meski ia tahu seharusnya ia tidak melalukan hal itu.
"Aku sedang menahan diri. Bagaimana mungkin aku tidak cemburu? Itu mustahil."
"Tunjukkan kalau begitu. Perlihatkan kalau kamu cemburu, perlihatkan jika dia itu milikmu."
"Di sisi lain, aku merasa kisah mereka belum benar-benar usai."
Melvin mencocol kentang gorengnya dengan saus tomat, memakannya perlahan agar dapat mengobrol lebih panjang dengan Alesha karena ia sudah terlanjur terlambat untuk bekerja.
"Kurasa hanya Juan. Aku tahu Clairy sudah selesai dengan perasaannya."
"Kamu menyukai Clairy?"
Melvin tampak berpikir sejenak, lalu berkata "Siapa yang tidak akan suka dengan pesona Clairy? Dia perempuan menarik."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA BULAN. (END)
Lãng mạnRencananya untuk bekerja tidak pernah ia sangka akan berujung dipertemukan dengan mantan kekasih yang telah menyakitinya bertahun-tahun lalu. Tidak hanya dipertemukan sehari dua hari, tetapi setiap hari selama tiga bulan dalam satu atap yang sama...