32 - Paling kasihan se-bumi🌍

143 20 2
                                    

Kepalanya sangat pusing. Ia sama sekali tidak membiarkan tubuhnya beristirahat hari ini. Rekan di sebelahnya menepuk punggung Clairy lembut, kemudian memberikan senyum simpul mengapresiasi hasil kerjanya hari ini.

"Good job Clair. Kamu pulanglah dan istirahat. Biar aku yang menyampaikan laporan hari ini, kita bertemu di kantor besok pagi." kata rekannya kemudian diberi anggukan oleh Clairy.

Mereka datang ke kantor dinas kebudayaan untuk mendiskusikan terkait karnaval yang akan diselenggarakan oleh divisi Clairy dan karena kotanya kental akan budaya, hal itu yang membuat Clairy dan timnya ingin menggandeng dinas di kotanya.

Pintu mobil ditutup, Clairy berpisah dengan rekan-rekannya dan ia mendapat perlakuan khusus—diantar hingga apartemenya karena mereka tahu Clairy sama sekali belum pulang.

Ponselnya berdering, kali ini bukan ponsel yang ia gunakan biasanya. Ia memiliki ponsel lain yang hanya berisi nomor orang-orang terdekatnya.

"Ada apa?" tanya Clairy.

"Aku di depan."

Clairy memijat pelipisnya. Ia tahu pasti kemana arah pembicaraan mereka.

"Bisakah kamu kembali besok? Aku sangat lelah dan ingin istirahat. Dan tolong, jangan berikan informasi apapun tentangku sebelum kamu menemuiku."

Manusia di seberang tampak berdecak, tidak suka dengan jawaban Clairy.

"Aku sudah sampai sini. Apartemenmu jauh dari rumahku, setidaknya biarkan aku minum atau sekadar meluruskan kakiku di dalam."

Tidak ada obat, sahabatnya memang bebal dan anti saran.

"Masuklah, tidak perlu berlagak seolah kamu tidak tahu sandi pintuku."

Clairy menutup panggilan sepihak, tidak lagi ingin menambah lelahnya dengan keributan lain bersama Mahen.

Ia tahu, pasti Mahen datang karena Juan. Itu artinya, Juan telah mengetahui bahwa ia sudah pergi dari rumah kontrakan mereka. Kemudian Juan akan menghubungi Mahen untuk memastikan sesuatu, entah apapun itu yang ada di pikirannya sehingga Mahen harus datang untuk membantunya.

Clairy sampai di depan bangunan tinggi yang mana ia tinggal di salah satu unitnya. Ia memang telah pindah ke unit yang lebih besar dibanding semasa masih menjadi mahasiswa. Alasannya? Karena kini huniannya sering dijadikan meeting kecil-kecilan dan jika ia masih bertahan di unit sebelumnya, itu tidak akan cukup menampung rekan-rekan kerjanya.

Clairy menekan empat digit kata sandi pintunya, sebelum sebuah bunyi terdengar dan pintu sepenuhnya terbuka. Ia dapat melihat ada sepasang sandal yang jelas milik tuannya dan pemilik sandal itu sedang tertidur pulas di sofa panjang yang terpajang di ruang tengahnya.

"Apa kamu diizinkan untuk tidur?" gumam Clairy melepas kaus kakinya.

Mahen meregangkan otot-ototnya, menggeliat seperti ulat kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Berikan aku sepuluh menit. Aku baru saja pulang dari Kalimantan."

Clairy setuju kali ini, ia pun sudah tidak kuasa menahan kantuknya dan langsung ikut berbaring di sisi lain sofanya. Menyusul ritme dengkuran halus milik Mahen, mengajaknya bertemu di alam lain yang begitu mereka rindukan.

°°°

Selagi dua insan tertidur pulas, satu manusia sedang tergesa keluar dari kerumunan yang juga ingin menuju pintu yang sama. Sebelum pesawatnya terbang, ia sempat menghungi temannya dan meminta bantuan padanya untuk memastikan bahwa Clairy berada di kota yang seharusnya ia tuju. Namun, kali ini setelah ia sampai di kota kelahirannya justru temannya itu tidak bisa dihubungi.

"Kenapa semua orang mempermainkanku?" gumamnya.

Terbesit sebuah pikiran buruk jika saja ternyata Melvin hanya sedang mengerjainya, atau Clairy tidak benar-benar pergi ataupun pulang.

Jika dipikir-pikir, tadi Melvinpun tidak menyebutkan bahwa Clairy pulang. Ah bodohnya Juan yang begitu gegabah tak mengendalikan emosinya.

"Mahen bangsat! Angkat teleponku!" gertak Juan mengirimi sebuah pesan suara.

Ia tak tahu lagi. Ada dua opsi tempat yang akan ia tuju. Apartemen Clairy atau rumah ibunya. Pilihan kedua tampaknya sangat berisiko mengingat bagaimana akhir dari hubungan Clairy dan Juan yang tidak baik-baik saja.

Juan menghentikan sebuah taksi, ia segera mengatakan lokasi tujuannya. Meskipun ini akan sia-sia, mari kita lihat saja kebodohan Juan dengan tenang.

°°°

"So, apa yang terjadi? Kamu tidak pernah bercerita apapun padaku. Kupikir kamu telah mati di medan perang." kata Mahen sarkas.

Clairy membalut kepalanya dengan handuk, rasanya begitu segar setelah ia terakhir menyentuh air kemarin pagi. Perempuan itu duduk di hadapan Mahen, ada dua gelas botol air dingin di hadapan mereka.

"Aku pun tidak tahu harus mulai dari mana."

"Itu karena kamu tidak pernah sekalipun membaginya denganku! Cepat ceritakan, Juan sudah menerorku via telepon."

Ceritapun dimulai. Pertama Clairy menceritakan bagaimana ia dan Juan bisa kembali bertemu, bagaimana Juan begitu kejam dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya, dan ia yang memiliki teman-teman baru seperti Melvin dan Alesha.

"Dia memang bajingan yang belum juga berubah. Jadi kalian pura-pura tidak saling kenal?!" komentar Mahen sebelum meneguk air mineralnya.

"Hmm. Tapi tidak lama akhirnya kita ketahuan dan Juan sendiri yang memberitahu semua orang. Kupikir juga karena itu hubungan Alesha dan Juan renggang hingga akhirnya berpisah."

Mahen hampir saja menyemburkan airnya mendengar kalimat terakhir Clairy.

"Mereka berpacaran?!" tanyanya tak percaya.

"Wah, kamu memang manusia paling kasihan se-bumi. Melihat mantanmu memiliki kekasih saja sudah sangat buruk, tapi ini? Kalian tinggal di rumah yang sama adalah yang terburuk. Bagaimana kamu bisa untuk tidak bercerita padaku?!"

Clairy mengedikkan bahu, ia juga bingung harus bagaimana saat itu. Ia sempat berpikir bahwa suatu hal buruk jika saja Mahen tahu dan ia akan bersikap posesif atau lebih parahnya ia akan memaksanya untuk pindah dari rumah itu.

"Sekarang, kenapa dia mencarimu? Apa kalian tidak berpamitan dengan baik?"

"Aku merencanakannya, tapi dia tidak datang."

"Astaga... Wah, sudah lama sekali aku tidak menggosip seperti ini denganmu. Lanjutkan, dia tidak datang?! Kemana dia?"

"Coba tebak." sembari menunggu tebakan Mahen, ia meneguk air mineralnya.

"Hmm. Jika dia memang sebodoh dulu, aku tebak dia meninggalkanmu untuk perempuan lain."

Clairy tertawa terbahak-bahak, bahkan ia bertepuk tangan ketika menilai jawaban Mahen yang sangat tepat.

"Benar, kan?! Wah memang minta dihajar ubun-ubunnya."

Kemudian Clairy menceritakan perjuangannya untuk dapat sampai di kota ini lagi.

"Sekarang, apa yang akan kamu lakukan padanya? Kalau kamu mau menginjak kepalanya, I'll go with you. "

"Heh! Kriminal sekali otakmu. Tidak, tidak. Dalam perjalanan aku memikirkan banyak hal. Dan kalaupun ia menyusulku ke sini, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan padanya."


TIGA BULAN. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang