44- hospital

124 18 0
                                    

"Demam Tifoid. Iya, Bunda tidak perlu buru-buru."

Clairy menutup sambungan teleponnya dan kembali masuk ke ruangan serba putih tempat Juan dirawat. Kata dokter, beruntung Juan tidak terlambat dibawa ke rumah sakit karena demamnya sangat tinggi.

Sekarang pria itu sedang tertidur pulas setelah diberi obat. Clairy menatap hidung mancung pria yang akhir-akhir ini kembali mengelilingi hidupnya. Dilihatnya napas teratur yang Juan ciptakan membuat Clairy lega karena ria itu baik-baik saja.

Meskipun berusaha tidak peduli, tapi Clairy bukan juga batu yang tidak memiliki perasaan. Ia tidak mungkin tidak iba ketika melihat Juan pagi tadi dengan kaus basah kuyup karena keringatnya, ditambah suhu tubuhnya yang sangat tinggi.

Ketika mereka harus turun melewati lift, Juan tidak bisa berdiri dengan kakinya yang lemas dan alhasil Clairy harus menopang tubuh kekarnya hingga parkiran bahkan hingga rumah sakit.

"Pergilah Clair, aku tidak apa-apa." gumam Juan masih dengan matanya yang terpejam.

Clairy mengernyit tidak suka mendengar perkataan Juan. Bukankah seharusnya pria itu mengucapkan terima kasih stsu minta maaf? Bukan malah mengusirnya seperti ini.

"Apanya yang tidak apa-apa?! Jelas kamu hampir celaka jika saja terlambat dibawa ke rumah sakit."

Juan terkekeh dengan senyuman di sudut bibirnya. Bahkan ini seperti mimpi untuk bisa mendengar omelan Clairy yang sudah lama tidak ia dengar.

Ia membuka matanya, mencari keberadaan Clairy yang ternyata sedang duduk di sofa cukup jauh darinya. Tangan perempuan itu tampak sibuk memainkan ponselnya. Juan berdeham, sengaja membuat fokus Clairy teralih padanya.

Setelahnya Juan meminta Clairy untuk mendekat dan perempuan itu menurutinya begitu saja. Clairy menarik salah satu kursi untuk duduk mendekat di sisi ranjang tempat Juan terbaring. Pria itu mencoba untuk duduk bersandar dengan hati-hati.

Juan meraih tangan Clairy yang lembut, mengelusnya perlahan menyalurkan ketenangan seperti biasanya.

"Terima kasih," kata Juan lirih.

Clairy mengangguk melembutkan hatinya. Ia enggan mengakui bahwa ia masih begitu peduli terhadap keadaan Juan. Atau setidaknya, Clairy masih butuh alasan kuat yang membuktikan bahwa ia tidak salah mengambil langkah. Karena ia takut gegabah dalam hal ini.

"Kamu harus banyak belajar merawat diri. Jangan sampai sakit begini dan diam saja seperti semalam. Kalau saja card holderku tidak ketinggalan, aku tidak akan tahu kalau kamu demam."

"Bukan karena card holdernya, itu karena kamu masih peduli padaku. Oh, atau jangan-jangan memang masih sayang?"

Yang keluar dari mulut Juan berhasil menarik perhatian Clairy, beserta tatapan tajamnya yang menyala. Tangannya membuka kotak jatah makan siang yang baru saja datang dan melemparkan buah anggur pada tubuh pria itu.

"Jangan banyak bicara! Nih, makan buah supaya otakmu bervitamin!"

Clairy melemparkan anggur dengan tepat mengenai dada Juan yang sedikit terbuka. Sial, siapa yang menciptakan pakaian rumah sakit dengan desain seperti itu?

"Sakit," Juan meringis mengelus dadanya yang terkena lemparan maut perempuan yang tampak tidak peduli dengan perbuatannya. 

Tak mau lagi menjadi sasaran gombalan Juan, Clairy memilih keluar dan mencari kantin atau tempat apapun untuk ia bisa mengerjakan beberapa hal yang bisa ia handle dari tempatnya.

Ia berjalan memesan jus semangka yang dicampur dengan lemon seperti kesukaan Mahen. Ah, bicara tentang Mahen dia jadi ingat masih memiliki teman. Jika dilihat dari statusnya di WhatsApp dia sedang berada di rumah—maklum pekerjaannya mengharuskan dia berkeliling tempat.

Clairy tampak mengirim pesan pada Mahen, memberikan informasi bahwa Juan masuk rumah sakit. Mungkin tidak penting, tapi bagaimanapun Clairy ingin keduanya tetap akrab seperti dahulu.

Sebenarnya Clairy bisa saja mengerjakan tugasnya di kamar rawat Juan, secara asuransi pria itu berada pada kelas VVIP membuat siapa saja betah berada di ruangan itu. Tapi ia hanya tidak ingin mengganggu waktu istirahat Juan. Bahkan ia sengaja tidak memberikan ponsel pria itu yang kini masih nerad adi saku kemeja Clairy. Ia hanya ingin Juan istirahat dan tidak memikirkan pekerjaannya.

Clairy membuka tablet kesayangannya. Beruntung ia tadi pagi sudah bersiap, sehingga peralatan tempurnya sudah tersedia di dalam tas dan siap digunakan dimana saja dan kapan saja. Seperti saat ini, ia sudah terhubung dengan rekan kantornya dan ia siap diceramahi oleh atasannya karena mengambil izin kerja disaat seperti ini.

Dia tidak mengatakan bahwa Juanlah yang sakit, jika saja ia jujur ia akan mendapat amukan yang lebih dahsyat pastinya.

"Tapi Bu Clairy bisa ke kantor kan, sore ini? Ada beberapa berkas yang harus bertanda tangan basah."

Clairy mengangguk sembari menyesap minumannya yang sudah dihidangkan beberapa menit yang lalu.

"Bisa. Aku sedang menunggu seseorang menggantikanku berjaga. Nanti aku langsung ke kantor."

"Bu Clairy, jangan lupa bawakan oleh-oleh!" ada satu seruan yang bukan dari lawan bicaranya. Bagaimanapun, mereka adalah teman-teman seperjuangan Clairy yang tidak akan memiliki sopan santun padanya. Clairy tertawa dan kembali mengangguk memastikan ia akan membawakan sesuatu untuk mereka karena telah menanggung pekerjaan Clairy hari ini.

Tangannya kembali bekerja mengetik beberapa materi yang akan ia sampaikan esok hari, sedang telinganya masih setia mendengar rapat koordinasi bersama kantor pusat seperti biasanya. Hal ini membuat Clairy kadang bersyukur ia tidak memiliki seorang kekasih yang pasti akan semakin menyita waktunya. Ia sendiri saja sudah kewalahan, semua indranya harus bekerja dalam satu waktu. Akan semakin merepotkan jika memiliki kekasih, pikirnya.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul empart sore. Matahari yang semula terik kini mulai menghangat seakan dengan lembut mengucap kata pisah.

Clairy menutup tabletnya, mencabut kabel pengisi daya yang sebelumnya terpasang dan memasukkan satu-persatu printilan yang berserakan di meja untuk kembali ke dalam tas. Berharap bunda sudah datang, Clairy segera bergegas meninggalkan kafetaria itu untuk kembali mengunjungi ruangan milik Juan.

Kalau saja saat itu hubungan mereka tidak berakhir, apakah saat ini mereka sudah menikah? Atau akan tetap berpisah pada akhirnya? Clairy tidak pernah membayangkan kehidupannya jika saja ia masih ditemani Juan menghabiskan waktu remajanya. Tapi ia bersyukur, karena perpisahan itu menjadikan Clairy manusia yang dunianya tidak berputar pada satu titik. Clairy mencoba banyak hal, melewati banyak rintangan sendirian dan membuktikan ketangguhannya.

"Bunda sudah datang?" tanya Clairy ketika memasuki ruang itu.

Juan tampak sedang menikmati biskuit menoleh ke arah Clairy dengan mulut yang masih mengunyah. Pria itu mengangguk, menjawab pertanyaan Clairy.

"Lagi di toilet."

Juan memainkan remote televisi dengan bosan, mengganti kanal satu ke yang lain mencoba mencari tontonan yang dapat menghiburnya. Lalu sebuah ponsel sudah berada di atas pangkuannya. Itu miliknya yang entah bagaimana berada pads Clairy.

"Aku ke kantor dulu untuk urus beberapa pekerjaan. Nanti aku ke sini lagi." kata Clairy hendak berpamitan.

"Kamu tidur di rumah saja, sudah ada bunda di sini."

"Bunda punya suami yang juga harus diurus, kamu tidak boleh egois."

Juan menyandarkan tubuhnya, menatap Clairy dengan tatapan jahil.

"Hmm kalau begitu aku harus jadi suamimu supaya bisa egois."

Clairy kembali melempari Juan dengan benda yang ada di dekatnya. Kini yang terdekat adalah bantal dan terlempar tepat mengenai wajah Juan. Bersamaan dengan itu, bunda keluar dari toilet melihat dengan jelas pertengkaran kekanakan dua orang di hadapannya.

"Pergilah, nanti malam Mahen yang akan menemaniku." kata Juan meminta Clairy untuk segera pergi.







TIGA BULAN. (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang