Pintu lift terbuka ketika ia telah mencapai lantai yang ia tuju. Langkah kakinya menuju sisi paling ujung dari bangunan itu, tempat dimana ia tinggal dan menghabiskan sisa waktunya sepulang bekerja.
Sembari membawa dua kantung besar di sisi kanan dan kiri tangannya, Clairy menahan beban itu dengan ekspresi yang dapat dibayangkan sendiri. Ia juga merutuki kenapa ia memilih unit paling ujung sehingga tiap kali membawa barang yang cukup berat, dirinya harus bersusah-susah dahulu.
Sebenarnya unitnya tidak benar-benar paling ujung, karena ada satu unit yang masih kosong yang memang sudah kosong sejak pertama kali Clairy tinggal. Mungkin karena berada di paling ujung, sehingga jarak dengan lift cukup jauh.
Clairy melemahkan sedikit ritme langkahnya ketika pintu unitnya sudah terlihat semakin dekat. Hendak menekan tombol pada gagang pintu, ia dibuat terkejut ketika pintu yang tidak pernah ia lihat terbuka itu terbuka dengan sendirinya.
Gerakan tangannya terhenti, mengambang di udara. Clairy tidak jadi menekan angka-angka rahasia itu ketika pintu terbuka sedikit demi sedikit, ada sebuah kardus yang tampak sedang berusaha dikeluarkan dari dalam sana. Itu sangat menyita perhatian Clairy, karena yang terjadi setelahnya adalah ubun-ubun seorang pria muncul dari dalam sana. Dan ketika pria itu mendongak, dua kantung belanja yang berat itu terlepas dari genggaman Clairy. Jatuh begitu saja, bahkan beberapa paprika tampak asik menggelinding keluar dari plastiknya.
"Loh, katanya pulang pukul sembilan?" tanya laki-laki itu pada seorang yang tak lain adalah Clairy.
Clairy bungkam. Dia masih mencerna segala kemungkinan atas keadaan ini dan kalimat yang dapat ia katakan hanyalah
"K-kamu ngapain di sini?"
Laki-laki itu berdiri, menepuk dua tangannya beberapa kali seolah sedang membersihkan sesuatu seperti debu yang menempel di telapaknya sendiri sebelum mengulurkan tangannya pada Clairy.
"Kenalkan, aku tetangga barumu."
Clairy menutup matanya, dari raut wajahnya saja sudah sangat menunjukkan betapa beban hidupnya seperti ditambah sepuluh kali lipat dari biasanya.
"NGAPAIN KAMU PINDAH KE SINI?!" bentak Clairy menepis tangan Juan dengan kesal.
"Aku kan sedang menjalankan project-ku. Kamu harus sabar, lebih bagus lagi kalau kamu mau mendukungku."
Juan kemudian melanjutkan aktivitasnya mengeluarkan kardus-kardus kosong itu dari dalam. Sedangkan Clairy, dia memunguti belanjaannya yang tercecer di lantai sebelum ia meninggalkan Juan dengan perasaan kesal.
Di dalam kamarnya, Clairy uring-uringan menelepon Mahen yang ternyata saat ini sedang berada di luar kota.
"Kamu tuh ya!" teriak Clairy saat panggilan video itu tersambung.
"Apa sih Clair? Juan lagi? Dia sendiri yang ngancem! Katanya kalau aku tidak memberi tahu dimana kamu tinggal, dia akan beberkan pada pacarku kalau aku dulu selalu selingkuh."
"Dia kan juga tukang selingkuh!"
"Tapi aku lebih sering selingkuh. Bisa bahaya kalau pacarku tahu! Aku kan sudah taubat."
"Dia sekarang tinggal di sebelahku, kamu harus tanggung jawab!"
"HAH?! Wah benar-benar gila si Juan. Apa jangan-jangan dia berniat untuk menguntitmu?"
"YA! Jangan asal bicara! Aku tinggal sendirian di sini, kalau ada apa-apa bagaimana?!"
Belum selesai Clairy memberi sumpah serapah pada Mahen, bel berbunyi menandakan seseorang ingin bertamu ke rumahnya. Mendengarnya Clairy berdecak sebal mengakhiri sambungan teleponnya dengan Mahen.
Merapikan rambut yang sedikit acak-acakan, Clairy membuka pintu tanpa melihat siapa yang bertamu—ini kebiasaan buruknya.
Ternyata itu adalah tetangga barunya. Mengangkat sekantung bungkusan yang entah apa isinya.
"Jajangmyeon!" serunya menggoyang-goyangkan bungkusan yang ia bawa ke hadapan Clairy.
"Kamu sudah selesai pindahan?" tanya Clairy.
"Belum semuanya, tapi ayo masuk ke unitku! Kamu belum makan malam, kan?"
Memang belum, dan Clairy tidak enak hati jika harus menolak padahal jelas Juan telah membelikannya menu makan malam. Clairy menurut saja dan memasuki tempat yang akan dianggap rumah oleh Juan mulai malam ini.
"Hmm ternyata lebih luas dari milikku." gumam Clairy melihat sekelilingnya.
"Eh, apa itu? Kamu masih menyimpannya?!" Clairy menunjuk ke arah kotak yang belum semuanya dibereskan oleh si pemilik.
Itu adalah kumpulan polaroid bertahun-tahun lalu, yang mereka ambil ketika keduanya masih menjadi sepasang kekasih. Clairy tampak memegang satu persatu foto-foto itu dan tertawa geli melihat beberapa tingkah konyol masa remaja mereka yang terabadikan.
"Mana mungkin aku membuangnya. Lihat, kamu itu salah satu saksi hitam putihnya rambutku."
Benar juga, Juan dulu sering gonta-ganti warna rambut sampai Clairy kadang tidak mengenali kekasihnya itu karena hampir tiap dua minggu Juan mengganti warna rambutnya.
"Dulu tembem banget ya, aku."
"Makanya jangan sering lupa makan dong, lihat kamu kurus kering begini kan hasratku untuk menafkahimu jadi semakin menggebu."
"Aku tidak kurus kering! Kata orang-orang lebih bagus badanku yang sekarang, kok"
"Tidak, mereka bohong. Sekarang duduklah, kita harus makan sebelum beradu argumen lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA BULAN. (END)
RomanceRencananya untuk bekerja tidak pernah ia sangka akan berujung dipertemukan dengan mantan kekasih yang telah menyakitinya bertahun-tahun lalu. Tidak hanya dipertemukan sehari dua hari, tetapi setiap hari selama tiga bulan dalam satu atap yang sama...