Keduanya berdiri di balkoni yang menghadapkan mereka dengan pemandangan kerlip lampu kota pada malam hari. Sudah lewat tengah malam dan esok Clairy harus berangkat kerja tapi energinya entah terasa terisi penuh sehingga tidak ada rasa kantuk padanya malam ini.
Ia mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengenggam cangkir teh yang menggantung di udara. Pagar hitam menjadi penyangga dua tubuh manusia yang sedang bersandar padanya.
"Kamu kenapa tidak punya pacar lagi, Clair?" tanya Juan dengan lurus pada indahnya lampu kota.
"Hmm.. Dijawab jujur atau bohong?"
"Jujur dong,"
Clairy membalikkan tubuhnya, kini pungungnya bersandar pada pagar hitam sebatas bahu itu.
"Kamu bikin aku trauma. Mungkin kata 'trauma' terdengar terlalu dramatis tapi memang begitu adanya. Kamu sangat jahat padaku, kamu tahu kan?"
Juan diam, ia hanya menganggukkan kepalanya ringan seperti sepakat namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Kamu selingkuh, tapi menutupinya dengan menyalahkan keadaan kita. Hah, kalau dipikir-pikir aku menangis malam itu, sendirian, selepas kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Kamu sama sekali tidak mau mendengar apa yang aku coba jelaskan. Kamu tidak memberiku kesempatan."
Juan menatap Clairy dengan sendu. Ia jelas paham akan kesalahan masa lalunya.
"Maaf, Clair. Aku sepenuhnya salah. Kalau saja aku terlambat, aku tidak tahu penyesalanku berujung seperti apa. Meskipun aku berharap kesalahan itu tidak pernah terjadi, tapi tanpa mereka kita tidak akan berproses hingga hari ini. Kamu menjadi perempuan yang jauh lebih tangguh, aku menjadi seseorang yang akhirnya sadar bahwa kamu yang harus aku perjuangkan."
Sebuah kekehan lolos dari mulut Clairy. Yang membuat dirinya bertahan adalah rasa kecewanya pada Juan. Yang membentuknya hari ini adalah rasa sakit hatinya pada satu laki-laki bernama Juan.
"Aku tidak bisa percaya pada orang lain. Itu imbas karena kamu mengecewakan segala usaha baikku."
Clairy berhasil menusuk Juan dengan kalimatnya. Sakit hati yang pria itu torehkan, berbuah pahit pada kehidupan Clairy.
"Aku akan menunggu. Selama apapun itu. Entah dengan menyembuhkanmu, atau dengan tidak membuatmu sakit lagi. Aku akan menunggu." kata Juan.
Clairy menghadap ke arah Juan, rambutnya sudah panjang menutupi daun telinganya. Hitam rambutnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
"Kalau nantinya ada perempuan lain?" tanya Clairy.
"Tidak akan."
"Kalau nanti perasaanmu berubah?"
"Tidak akan."
"Kalau nanti pada akhirnya aku memilih orang lain dan itu bukan kamu?"
Kali ini Juan tidak langsung menjawab, ia tampak berpikir. Mendongak ke atas seolah ia membayangkan bagaimana jika ternyata ia tidak berakhir dengan Clairy seperti harapan indahnya selama ini.
"Just let me know. Jika pada akhirnya ada laki-laki lain yang kamu pilih dan itu bukan aku, tolong beri tahu aku. Aku mungkin akan kecewa, atau bahkan marah pada diriku sendiri. Tapi itu biar jadi urusanku. Kebahagiaanmu di atas segalanya, karena aku yang menancapkan luka paling dalam, sudah sepatutnya aku mendapat balasannya. Meskipun kita tidak pernah tahu sembuhmu dengan bersamaku atau dengan aku yang merelakanmu, tapi untuk saat ini tolong biarkan aku untuk berusaha satu kali lagi."
Pria itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman, berharap Clairy dapat merasakan ketulusan hatinya.
Pandangan Clairy beralih pada jam di tangan kirinya, udara semakin dingin dan ia tidak akan bisa bangun jika tidak segera kembali dan mengakhiri percakapannya dengan Juan.
"Aku harus kembali." kata Clairy.
Juan mengambil alih cangkir dari tangan Clairy yang sudah kosong, ia mengikuti arah langkah perempuan itu menggeser pintu kaca pembatas sebelum berjalan menuju pintu keluar.
"Selamat malam, Juan."
°°°
Clairy kembali ke kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Juan berkata seolah ia dapat memastikan masa depan bersamanya, seolah ia tidak pernah memberi harapan yang sama sebelumnya.
Dulu pria itu juga seperti malam ini, berjanji terlalu manis hingga Clairy lupa akan pahitnya kenyataan ketika ia mengingkarinya. Clairy bingung, ia tidak tahu wujud Juan yang asli adalah yang menyakitinya atau yang menyesali perbuatannya seperti malam ini.
Tubuhnya ia hempaskan ke ranjang, rambutnya tergerai sempurna, matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Haruskah ia percaya? Haruskah ia mencoba? Apakah perasaannya pantas untuk diuji coba kedua kalinya?
Kemudian ia terlelap, membawa seluruh kebimbangan itu ke alam mimpi. Berharap di sana ia dapat memutuskan sesuatu yang membebaninya beberapa hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA BULAN. (END)
RomanceRencananya untuk bekerja tidak pernah ia sangka akan berujung dipertemukan dengan mantan kekasih yang telah menyakitinya bertahun-tahun lalu. Tidak hanya dipertemukan sehari dua hari, tetapi setiap hari selama tiga bulan dalam satu atap yang sama...