Derap langkah kaki terbalut sepatu pantofel terdengar hingga ke penjuru ruangan. Dengan rambut tersisir rapi serta aroma maskulin menguar, menandakan putra sulung keluarga Pasya sudah sangat siap mengawali kegiatan.
"Tumben, wangi banget?" Chandani Prameswari—perempuan tertinggi dari keluarga Pasya tersenyum geli.
Ditatap lekat oleh banyak pasang mata, Malik mengangguk sopan menyetujui ucapan ibunya.
"Mohon izin Ibu, Mas Malik bersama saya hari ini akan keluar dalam rangka mengoptimalkan sektor peternakan di wilayah kabupaten Magetan."
Bukan sosok Malik yang membuka percakapan, justru izin tersebut keluar dari salah seorang ajudan—Mas Kavi namanya, lebih muda tiga tahun dari Adhitama Malik Pasya.
"Bagus, Mama setuju kamu mulai turun lapangan. Usahakan kehadiran kalian tidak terlalu mendatangkan banyak media." Chandani tak main-main dalam memperingatkan dan dibalas senyum serta anggukan dari putranya.
Sementara Mas Kavi—pria berkulit kecokelatan sigap berdiri tegak dan bersiap mengawal kegiatan sang atasan.
Pukul tujuh pagi, mobil yang ditumpangi Malik mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah dua lantai. Kunjungan kali ini dilaksanakan secara tertutup bertujuan memberikan informasi yang lebih rinci mendalam dan tepat sasaran pada pemilik peternakan.
Malik sendiri tak hanya didampingi oleh Mas Kavi saja akan ada sang asisten yang telah menemani pria tersebut hingga lima tahun lamanya.
Sebagai sosok yang terbilang memiliki kepribadian tertutup serta watak pendiam. Sedari awal keberangkatan hingga pertengahan jalan, pria tersebut lebih banyak sibuk pada layar Ipad di tangan. Sesekali sang ajudan menawarkan untuk berhenti sejenak di warung makan mengingat atasannya belum sarapan.
"Masih ada waktu setengah jam sebelum acara. Mau mampir ke warung pecel, Mas?"
Sambil menaruh kembali Ipad ke dalam tas kerja, Malik menerima tawaran ajudannya setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam lamanya dari Surabaya.
"Gam, di sini ada berapa sapi yang terdampak PMK?" tanyanya ketika duduk di kursi plastik seraya menyulut ujung rokok menggunakan korek api.
"Sejauh ini, informasi yang saya terima dari pihak dinas peternakan, ada 25 ekor sapi, Pak."
Malik mengangguk akan jawaban asistennya. Baiklah, pembahasan nanti, ia pastikan sapi yang telah terjangkit tidak akan menularkan ke sapi yang lain. Salah satu solusi terbaik juga sudah dipersiapkan mengingat penyakit ini bukan main-main.
***
Malik menjabat tangan beberapa pria yang memiliki usaha peternakan. Setelah tiga jam lamanya berbincang serius, rombongan Malik kembali melanjutkan perjalanan.
Di dalam mobil, pria tersebut sibuk menggulir ponsel membaca pesan. Tak terkecuali pesan dari ibunya yang tengah menginginkan pesanan.
"Kedai Martabak Nona. Benar ada di jalan ini?" Malik menyodorkan layar ponsel yang menampilkan logo kiriman sang ibu pada asistennya.
"Benar, Pak. Kalau tidak salah, Kedai tersebut lumayan populer dan masih disekitar wilayah Surabaya."
Pria itu mengernyit heran mendengarnya. Meski begitu titah tersebut wajib dilaksanakan jika tak ingin mendapat sebuah omelan.
"Nanti mampir sebentar. Ibu titip pesanan."
Sang sopir yang sedari tadi menyimak pembicaraan segera bersiap akan perintah sang atasan.
Lama sekali sampai mobil mereka berhenti tepat di parkiran milik kedai yang dituju, sang ajudan menawarkan diri untuk keluar membeli martabak pesanan.
Di dalam keremangan mobil, sorot mata Malik menajam mengawasi pergerakan sang ajudan. Kedai tersebut terlihat ramai, dan menariknya seluruh area bangunan dan peralatan tampak rapi tanda pemilik sangat memperhatikan kebersihan. Karena melihat penuhnya antrian, pria tersebut mulai bosan dan lebih memilih menunggu di luar.
Lagi-lagi kesempatan tersebut digunakan kembali oleh Malik mengeluarkan sebungkus rokok. Berdiri sambil menyandar di badan mobil, mata tajam pria itu mulai menyipit kala menyadari kehadiran seseorang.
Perempuan yang memiliki suara ceria terdengar ramah menyapa pelanggannya, dan tak lama mereka mulai berfoto. Tampilan santai wanita itu yang terlihat sempurna, tak pernah hilang dalam ingatan Adhitama Malik Pasya.
Sesaat lelaki itu membuang puntung rokok yang tersisa setengah. Rasa asam dan pahit di mulutnya sirna hanya karena melihat sosok yang pernah hadir dalam hidupnya. Malik semakin penasaran ketika menemukan banyaknya perubahan pada mantan istrinya
"Itu ... Mbak Nola Seraphina, Pak." Sang asisten rupanya lebih cepat menyadari keberadaan perempuan yang memiliki fisik mencolok di antara kerumunan.
Malik tak menjawab dan hanya menampilkan lengkungan tipis di bibirnya. Belum sempat pria tersebut lama memperhatikan keberadaan Nola, kedatangan sang ajudan menyadarkan atensinya.
Hanya butuh waktu singkat, mobil Malik kembali bergerak. Dalam keheningan malam ketika suara kebisingan jalan begitu keras terdengar, benaknya berputar.
Dulu, ketika jiwanya dilanda ambisi serta ketidakpastian sebagai seorang suami. Malik ingat jika daerah ini dekat sekali dengan tempat tinggal milik sang istri.
Memori kelam masalalu atas kegagalan rumah tangganya, sedikitpun tak pernah disesali olehnya. Walau bagaimanapun, awal menikah, usia Nola begitu muda dan baru saja lulus SMA. Berbeda dengan Nola yang masih memiliki waktu yang panjang. Di usia Malik dahulu yang ke 29 sedang gencar-gencarnya mengejar promosi jabatan di perusahaan.
Meskipun latar belakang ayahnya seorang menteri tak menjadikan Malik berpangku tangan. Pencapaian gaji di atas dua digit mengalahkan apa itu arti dari sebuah ikatan pernikahan.
"Gam, secepatnya cari informasi mengenai Nola. Usahakan besok sudah ada di meja kerja." Perintahnya pada asistennya.
Sepertinya Malik mulai tertarik mengulik kehidupan Nola setelah sekian lama abai dan tak peduli akan rekam jejak mantan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
Storie d'amoreAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...