1. Why On Earth?

48.4K 3K 125
                                    

Darma mendengkus keras-keras ketika melihat ke seisi ruangan. Di ruang tengah sebuah rumah bernuansa tropikal minimalis di daerah Menteng itu, tampak ayahnya tengah duduk dengan pandangan menghunus. Di sebelahnya, si ibu tampak menghela napas dengan raut wajah kecewa.

Mengedarkan pandangan ke arah lain, tampak dua orang lain duduk di sofa lain. Seorang anak perempuan berusia seperempat abad dan seorang lelaki yang masih berusia delapan belas.

Kepala Darma tertunduk di sofa one-seater berhadapan dengan empat orang lainnya tersebut. Tak ada yang bisa ia katakan. Lidahnya kelu.

"Papa nggak tahu kenapa kamu bisa seliar itu, Darma! Papa nggak mendidik kamu buat jadi laki-laki seperti itu!" Kalimat itu menggema. Begitu tegas dan menggelegar.

Darma memalingkan wajah. Ia malas mendebat. Apa pun yang ia katakan tak akan ada hasilnya. Jadi, lebih baik, ia mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Mas, sudahlah, Darma kan sudah minta maaf." Suara lembut keibuan itu terdengar.

Darma menengok. Ia menatap ibunya. Walau berucap dengan nada yang begitu lembut, ia tahu, ada kekecewaan yang terselip di nadanya.

"Nggak bisa begitu, dia ke kelab dan tidur sama cewek-cewek sembarang aja, itu udah salah. Sekarang, malah bikin skandal heboh!"

Darma menarik napas. Awalnya, ia diajak Mikha, salah seorang temannya, pergi ke Exile, kelab yang merupakan bisnis patungan Mikha dan beberapa temannya yang lain. Setelahnya, Exile jadi tempat nongkrong untuk Darma dan sahabat-sahabatnya di malam Jumat sebagai pelepas penat. 

Namun, baru saja berjalan empat bulan sejak pembukaan, Exile tiba-tiba digrebek karena dirumorkan menjadi tempat transaksi barang haram. Kalau itu belum cukup, Exile juga dibawa-bawa atas kasus memekerjakan anak di bawah umur sebagai wanita penghibur.

Jelas, Darma yang berada di sana ikut terseret. Apalagi, Darma habis tidur dengan salah seorang perempuan di sana.

Setelah rangkaian tes urin dan lain-lainnya, Darma dibebaskan dari segala tuntutan. Ia tidak terbukti menggunakan obat terlarang. Tetapi, kasus prostitusi perempuan di bawah umur masih jadi bayangan yang menghantuinya.

"Percuma ibadah tiap minggu kalau kelakuanmu kayak gini, Dar." Satya berucap dengan nada frustasi. Anak sulungnya ini semakin hari semakin tidak bisa diatur.

"Memangnya, Mas Darma masih ibadah tiap minggu?" Celetukan polos dari Wira, si lelaki berusia delapan belas tahun yang masih bermain dengan ponselnya itu membuat Darma memutar bola mata.

"Masih, kok!" sambar Adhisty, satu lagi adik Darma. Satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Satya dan Dafina. Perempuan yang berusia dua puluh lima itu terlihat tersenyum jahil. Dan Darma tahu jelas, itu bukan tanda yang bagus. "Tapi ke gereja setan!"

"Hah? Mas Darma ikut sekte gelap?" Wira mengangakan mulut.

Kalau pertanyaan Wira bersifat mengejek, mungkin Darma akan langsung dongkol. Faktanya, tampang Wira yang benar-benar polos seperti orang dungu membuat Darma jadi bingung antara ingin melempari adik lelakinya itu dengan bantal atau membatin sendiri dalam hati.

"Loh, iya! Yang pakai perjanjian darah itu!" Adhisty semakin memanasi dengan tawa mengejek di sela kalimatnya. Sementara, Wira dengan polos dan bodohnya mendengarkan si kakak perempuannya. "Yang pakai baju hitam-hitam terus... aw!" Sebuah bantal terlempar tepat ke kepalanya. "Mas Darma!"

Darma menatap Adhisty garang. Tetapi, Adhisty malah menjulurkan lidahnya sebelum melanjutkan. "Mereka ngorbanin perawan atau perjaka. Hati-hati! Lo bisa kena sih, Wir! Lo masih perjakan, kan?"

Wira mengangguk. "Mbak Adhisty juga hati-hati, berarti!"

"Kenapa?"

"Kan, Mbak Adhisty belum nikah sama Mas Romi. Artinya, Mbak Adhisty masih perawan, kan?" Wira diam sejenak. "Emangnya Mbak Adhisty udah nggak perawan?"

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang