37. A Decision

14.6K 1.6K 50
                                    

Lima hari.

Lima hari sudah sejak hari putusan matinya karir Salsa sebagai humas. Lima hari berlalu pasca ia diadili di pengadilan keluarga Adhyaksa. Lima hari dan belum ada kabar apapun dari Darma. Salsa mendesah pelan seraya meletakan ponselnya di atas meja.

Pesan masuk terakhir datang dari Indra. Ia memberitahu terkait jadwal pengadilan lanjutan dan strategi memenangkan hak-hak yang diminta Salsa—salah satunya, hak asuh Nolan. Indra bersikeras untuk menampilkan foto-foto bukti kekerasan yang Ben lakukan walaupun tidak kuat karena tidak ada bukti visum sebagai penunjang.

Selain itu, ada pesan dari Ben yang masih ngotot minta kembali. Salsa tidak habis pikir, siapa yang mau kembali dengan lelaki penuh kekerasan seperti itu? Apalagi, Ben tidak meminta Salsa dengan cara baik-baik dan malah membuat kekacauan.

"Sa, makan dulu. Kamu sibuk banget sampai ngelihatin HP mulu." Suara ibunya memecah lamunan.

Salsa mendongak. Ia mendapati ibunya—Ayu—yang baru pulang dari pasar dan sudah meletakan mangkok berisikan bubur ayam di meja. Dari sudut matanya, ia melirik Nolan yang masih bermain dengan mobil-mobilannya.

Tangan Salsa meletakan ponsel di atas meja sebelum berjalan mendekat. "Ini bubur ayam Mas Joni?"

Ayu mengangguk. "Sekarang, beneran Mas Joni-nya yang jualan bubur. Bapaknya, Pak Akbar sudah nggak kuat lagi."

Salsa tertawa kecil mendengar penjelasan ibunya. Dulu, di ujung jalan dekat belokan menuju pasar, ada pedagang bubur yang selalu laris. Penjualnya, Pak Akbar, menamai tokonya dengan "Bubur Mas Joni" yang diambil dari nama anaknya.

Joni yang saat itu seusia Surya sering jadi bahan olok-olok di sekitar. Sekarang, dia malah berjualan bubur itu sendiri.

Hidup itu lucu. 

Kalau dipikir-pikir, hidup Salsa juga lucu, kan? Bagaimana karena satu kesalahan berakibat fatal pada dirinya sendiri. Her life is now a mess. Ia gagal.

Sepanjang tiga hari berada di Purwodadi, banyak orang memerhatikan tindak tanduk Salsa. Salsa bahkan tidak berani keluar rumah. Gosip tentangnya sudah menyebar. Namanya jadi buah bibir karena media bahkan televisi tidak berhenti membicarakannya. Kalau dulu, nama Darma hanya seliweran sebentar di infotainment, lalu lebih banyak digoreng di media bisnis. Sekarang, nama Darma dan Salsa muncul di lima acara infotainment setiap pagi.

Apa memang, gosip dan isu hubungan itu jauh lebih laku di pasaran? Atau kenapa? Bahkan, ada satu tayangan slot saat seorang wartawan mewawancarai Amelie Dupont—mantan pacar Darma—untuk menanyakan jika Darma memang punya kecenderungan untuk merebut milik orang lain dan melakukan kekerasan.

Gila! Orang gila!

Beberapa lain mengerubungi Adhisty dan Gayatri, meminta penjelasan. Terutama, ketika mereka menghadiri salah satu special screening film di Djakarta XXI sebagai tamu. Namun, keduanya sama-sama bungkam dan berjalan pergi begitu saja. 

Ada satu waktu juga, Salsa melihat tayangan ketika Ramdan dihampiri saat tengah hadir di pagelaran peragaan busana karya Prisa Paradina dalam rangka mendukung kekasihnya, Natalie Aine yang menjadi model utama.

Sementara, Darma hilang bagai ditelan bumi. Tidak tahu di mana keberadaannya. Lelaki itu benar-benar hilang dari radar. Bahkan, Sela juga tidak tahu ke mana perginya Darma.

"Sa, ngelamun lagi?"

Salsa buru-buru menggeleng. Ia mengambil sendok dan menyuap bubur ayam putih yang sudah lama tak ia santap. Sejumput rasa sesak menyeruak di dada setiap kali menelan bubur itu dalam kerongkongannya.

Dulu, ia bersumpah tak akan kembali lagi ke sini. Ia berjanji akan memboyong ayah dan ibunya ke Jakarta walau Candra menolak. Kini, Salsa yang malah berlari ke Purwodadi dan pulang sebagai pecundang.

"Kamu berat banget ya masalahnya sampai ngelamun mulu dari kemarin loh, Sa." Teguran Ayu membuat Salsa menggeleng kecil. Ia mengambil napas berat. "Kepikiran Ben?"

Salsa menggeleng cepat. Siapa yang mau memikirkan cowok sialan itu?

"Lalu?"

Salsa diam sejenak. Ia mengambil napas. "Aku lagi mikirin soal kerjaan." Ia mencoba menetralkan nada bicaranya untuk menahan getar.

"Masalahmu dengan Adhyaksa?" tanya Ayu mengonfirmasi. "Yang diomongin orang-orang di TV itu bener, Sa? Kamu... benar-benar punya hubungan dengan Darmantara?"

Salsa mengangguk. Ia kelu. Tangannya bergetar hebat. Ia seperti... bersalah.

"Sa, kok bisa?"

Salsa bungkam. Selama beberapa hari di rumah orangtuanya, Salsa belum membuka mulut perihal masalahnya dengan Darma dan Ben. Hanya Candra, ayahnya, yang sudah tahu, lalu tidak mengumbar atau mengorek masalah itu sama sekali. Sementara, Salsa membiarkan ibunya penuh dengan pertanyaan. Apa mungkin ini saat yang tepat untuk bercerita?

"Kamu ada masalah apa sebenarnya?" Ayu menyeruput tehnya. "Selama ini, Ayah menyuruh Ibu buat diam. Biarin kamu tenang dulu, katanya. Tapi udah tiga hari, dan kamu uring-uringan begini. Ibu jadi khawatir, Sa."

Salsa menunduk. "Kalau aku cerita, apa Ibu bisa mendengarkan tanpa menghakimi?"

Mata Ayu jelas membulat. Ia menarik tangan anaknya. Menggeleng pelan. "Menghakimi itu adalah sifat dasar manusia. Tapi, Ibu coba untuk mendengarkan dan memberikan masukan sesuai kapasitas ibu."

Salsa mendesah pelan. Ia memandang ibunya dalam-dalam. Detik berikutnya, segala pengakuan muncul begitu saja. "Keputusan perceraian bukan karena Darma. Aku memang mau cerai sama Ben karena nggak kuat. Dia main tangan melulu. Nggak lama, aku ketemu Darma dan aku jatuh cinta. Biarpun, aku masih perlu waktu untuk mendefinisikan perasaanku sendiri dan nggak mau terburu-buru, sih."

Si ibu menarik napas. "Kamu tahu, Tuhan membenci perceraian, Sa."

Salsa menolehkan pandangan ke arah lain. Ibunya dilahirkan dari keluarga pemuka agama yang menentang perceraian. Kalau saja Ayu tahu, seberdosa apa anaknya. Mungkin, Ayu bisa terkena serangan jantung.

"Aku tahu." Dagu Salsa terangguk seraya menerawang ke atas. "Salsa capek, Bu. Tiap hari dipukulin begitu, kasihan Nolan juga. Kalau dibilang akan masuk neraka, toh sekarang, hidupku udah kayak di neraka."

Ayu mengambil napas. Ia memandang ke arah jendela yang menghadap ke luar rumah.

"Ibu malu ya, punya anak yang gagal dalam pernikahannya kayak Salsa?" tanya Salsa lemah. Tangan perempuan itu bergetar. Sendoknya terjatuh begitu saja, menimbulkan bunyi denting keras ketika menubruk mangkok. Salsa menutup wajah dengan tangan, isak tangis lagi-lagi menggema.

Ayu masih diam. Ia membiarkan anak perempuannya mengeluarkan seluruh emosi yang ada dalam dadanya. Salsa sedang hancur dan sebagai ibu, hati Ayu juga hancur tak kira-kira. Ketika Ben pertama kali melamar Salsa, Ayu tak pernah menduga akhirnya akan seperti itu. Ben tampak baik dan hangat, siapa sangka ternyata anak perempuannya malah jadi samsak tinju.

"Ibu lebih malu kalau nggak bisa nyelamatin kamu, Sa." Ayu berucap pelan dengan isak yang juga tertahan.

Salsa mendongak. Matanya menatap sang ibu dengan mata basah.

"Maaf karena Ibu malah suruh kamu bertahan sama Ben, suruh kamu ke konselor pernikahan, begini begitu ketika kamu dipukuli." Ayu melanjutkan. "Ibu malah nggak menyelamatkan kamu selama ini. Seharusnya, ketika Nolan dipukuli, setidaknya, ibu paksa kamu pulang, tapi, ibu yang malah suruh kamu tetap tinggal."

Salsa tak bisa membuka mulut. Ia tahu, betapa hancurnya hati Ayu dengan dilema yang ada. Perceraian bukan hal yang baik. Sebagai seorang ibu, Ayu ingin anaknya bahagia dalam pernikahannya. Setiap orang pasti akan mencoba agar mempertahankan pernikahan itu.

Tetapi, pernikahan Salsa dan Ben memang tidak layak dipertahankan. Tidak! Pernikahan itu tidak seharusnya terjadi. Dan sebagai seorang ibu, Ayu sakit hati melihat anaknya dipukuli setiap hari seperti itu.

Ayu berdiri, ia kemudian merentangkan tangan dan memeluk putri bungsunya yang masih menangis sesugukan.

"Maafin Ibu ya, Nak. Maafin Ibu."

Salsa menggeleng dengan derai air mata. Pagi ini, ia mendekap ibunya lebih erat. Banyak emosi yang tumpah. Emosi yang tak bisa Salsa selami. Tetapi, satu yang pasti, kini, ia merasa sedikit lebih baik.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang