Salsa mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang tampak begitu sepi. Ia berdiri, meninggalkan Darma sejenak untuk menyusuri ruang makan.
Tak ada suara yang terdengar padahal jam dinding sudah menunjukan pukul delapan. Semua tampak begitu sepi. Salsa berjalan ke arah sebuah pintu geser dari kaca yang membatasi ruang makan dan kolam. Ia mengintip keluar sebelum kembali menengok Darma.
"Ngomong-ngomong, ini rumah lo?" tanya Salsa. "Keluarga lo di atas?"
"Hm?" Darma mendongak sejenak. "Ini rumah gue? Iya. Keluarga gue di atas? Nggak. Mereka di rumah Menteng."
"Hah?"
"Gue tinggal sendiri." Darma melirik ke arah rumah besar itu. "Sebenernya, ini rumah keluarga nyokap gue, sih. Kakek Nenek gue dulu tinggalnya di sini kalau ke Jakarta. Pas mereka meninggal, diwarisin ke nyokap, terus karena nyokap juga nggak tinggalin, akhirnya direnovasi dan diturunin buat gue. Yah, daripada beli apartemen, kayaknya, punya rumah pijak tanah is much better."
"Kenapa? Orang-orang seumur kita kayaknya mulai beralih ke apartemen di tengah kota biar lebih gampang mobilisasi," celetuk Salsa.
"Terus nanti pas nikah cari rumah pijak lagi?" balas Darma sambil menggeleng. Mending gue punya rumah pijak sekalian. Biarpun agak jauh karena ini di Tomang, tapi nggak jauh-jauh banget, kok! Gue lebih suka di sini." Darma diam sejenak. "Lagian, sayang kalau dijual. Rumah ini punya banyak memori juga buat keluarga gue."
Salsa mengangguk-angguk. Ia menatap ke sekeliling lagi. Walau sudah direnovasi dengan furnitur baru, kesan jadul dan tua masih terlihat di sudut-sudut rumah. Langit-langit yang tidak begitu tinggi, warna marmer yang didominasi oranye dan kuning, pilar-pilar dan ukiran ornamen gipsum di langit-langit.
"Rumah ini juga cocok buat keluarga, I mean look..." Darma menunjuk dapur. "I can imagine my wife cooks there and my kids running around with their loud voice." Tangannya kemudian menunjuk ke arah ruang tamu. "Atau main di kolam, atau bisa juga ke taman, ya, begitu."
Kalimat terakhir Darma membuat Salsa tertegun. Ia melihat ke arah area yang ditunjuk Darma satu demi satu. Bayangan-bayangan Darma tampak jelas tergambar di benak Salsa. Rumah itu benar-benar nyaman untuk ditinggali sebuah keluarga.
Tetapi, membangun biduk rumah tangga tak seindah khayalan. Senyum getir menghias bibir Salsa yang lalu kembali melirik Darma yang kembali dengan korannya. "Lo ada kepikiran nikah?"
Darma mengerutkan dahi. Ia menengok sejenak. "Obviously, why?"
"Nggak. Nggak apa-apa." Salsa memalingkan wajah. Ia mengambil napas sejenak. "Gue pikir, lo tipe orang yang nggak mau punya keluarga, yang bebas, mau hinggap sana-sini..."
Tawa Darma pecah. Ia menggeleng kecil. "Segitunya penilaian lo soal gue?" balasnya.
Salsa mengangkat bahu sambil memajukan bibir bawahnya. "Mungkin?"
Seulas senyum hangat tampak dari wajah Darma. Ia memangku dagu. "Gue nggak serius dalam hubungan karena belum ada yang sreg aja," bebernya.
"Sreg dalam hal?"
"Ya, anything. Gue suka sama cewek independen. Nggak harus yang girl boss atau wanita karir gimana juga. Independen dalam artian, cewek itu punya pendirian, dia bisa handle masalahnya tanpa harus dikit-dikit minta tolong—yang sebenarnya nggak penting-penting banget—atau clingy dan manja setengah mati. Well, gue akan memanjakan perempuan yang gue sayang—obviously—tapi, gue capek ngehadapin cewek clingy yang apa-apa harus laporan sama dia, texting 24/7, and so on, and so on! Apalagi, cewek sok cemburuan. Kerjaan gue seabrek terus harus ngurusin tantrumnya dia yang nggak dibalas pesannya, hell, no!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...