Salsa melambaikan tangan pada sebuah mobil putih yang kemudian pergi meninggalkan drop-off bay sebelum membalik tubuhnya. Ia menarik napas panjang. Pagi ini, ia kembali berjalan di lobi sebuah gedung tinggi di daerah Jakarta Pusat. Kembali melakukan rutinitasnya yang itu-itu saja; bangun - pergi kerja - bekerja hingga delapan jam - pulang - istirahat - repeat.
Walaupun pekerjaannya sebagai staf public relations di Dream Sky, sebuah konsultan perhumasan di Jakarta, faktanya, yang Salsa lakukan tak lebih dari sekadar media monitoring atau mengurusi press conferences seperti membuat rilis dan mengundang wartawan.
Sudah bekerja cukup lama, ia belum pernah dapat tanggung jawab lebih. Tidak usah menangani krisis, cukup acara besar seperi brand communication pun rasanya akan jauh lebih menyenangkan daripada duduk delapan jam di belakang meja dan mengawasi kata kunci di media atau membaca puluhan koran hanya untuk mencari satu nama pada sekian banyak artikel di dalamnya.
Padahal gelar jabatannya sudah senior. Tetapi, pekerjaannya begitu-begitu saja. Paling jauh dan menantang, mungkin, pada saat ia diminta membuat strategi brand communication untuk salah satu merek sepatu internasional yang waralabanya berada di bawah grup Adhyaksa. Hanya itu, tidak ada lagi.
Salsa yakin, pekerjaannya saat itu cukup baik. Sentimen media yang didapat juga positif. Tetapi, ia tidak pernah dipercaya untuk memegang peranan penting lagi setelahnya. Apa yang terjadi? Salsa juga kurang tahu.
"Mbak Salsa!" Sebuah pekikan bernada riang datang dari belakang.
Salsa melirik ke balik punggung. Ia menemukan seorang perempuan muda dengan blus kuning muda dan rok span biru tua berlari kecil. Senyum mengembang di wajahnya yang terlihat begitu muda dan bersemangat.
"Pagi, Naya," balas Salsa sambil tersenyum kecil.
Naya tersenyum sambil menyenggol lengan Salsa pelan. "Yang tadi, Mas Ben?"
Kali ini, Salsa mengangguk. "Siapa lagi yang nganterin gue selain Ben?"
Senyum menggoda tampak terlihat dari wajah Naya. Junior dari Salsa itu menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Cie, Mbak Salsa! So sweet banget sih sama Mas Ben!" Ia berucap dengan nada berlebihan.
"Apanya so sweet sih? B aja, kali!" Salsa mengibaskan tangan.
"Yah, Mbak. Tiap hari dianterin Mas-nya begitu. Terus sore dijemput lagi. Tipe cowok green flag banget itu, Mbak!"
Salsa hanya menanggangapi dengan tawa kering. "Yah, kan dia sekalian pergi kerja."
"Memang, kerjaannya apa, sih?" tanya Naya lagi. "Oh! Distributor elektronik kan ya, Mbak?"
Salsa menyungging senyum simpul sambil mengangguk. "Iya, usaha keluarga," jawabnya sambil menekan tombol lift.
"Enak lah, Mbak! Kalau kayak gitu, ngapain masih kerja sih, Mbak?" Naya tertawa sambil masuk ke dalam kubikel kecil yang baru saja terbuka itu diikuti oleh Salsa. "Tinggal jadi nyonya besar, nggak, sih?"
Salsa tertawa kering menanggapi Naya. Ben sudah sering mengutarakan hal yang sama. Kata lelaki itu, daripada bekerja di kantoran dari pagi sampai sore, lebih baik, Salsa bersantai di rumah. Kalau malas menganggur, Salsa bisa membantu Ben di usaha keluarganya.
Pekerjaannya juga mudah. Karena, model bisnis mereka adalah business to business yang sudah punya pembeli tetap. Setiap hari, Salsa hanya perlu memastikan pesanan para pelanggannya saja yang kebanyakan toko ritel eceran. Mungkin, tantangan terbesarnya hanya pada saat pitching ketika ada penawaran proyek. Lagi-lagi, sesuatu yang sudah bisa Salsa lakukan di luar kepala mengingat kelihaiannya dalam mempersuasi.
Masalahnya, Salsa enggan karena sungkan.
Perusahaan itu milik keluarga Ben. Kedua orangtuanya masih punya andil yang sangat besar terlepas dari usia mereka yang sudah memasuki masa pensiun—mengingat itu adalah usaha milik mereka yang sudah dibangun dari nol.
Tetapi, lebih dari semua itu, Salsa masih mencintai pekerjaannya. Ia masih ingin mengepakan sayap setinggi-tingginya dan mencari pengalaman. Walaupun tidak tahu sampai kapan.
"Ngomong-ngomong, Mbak, kok pakai lengan panjang gitu, sih? Apa nggak gerah? Jakarta kayak neraka bocor akhir-akhir ini, loh!" Naya kini mengomentari pakaian Salsa ketika keduanya keluar dari lift.
Lagi, untuk ke sekian kalinya, Salsa hanya meringis. Suhu Jakarta di bulan Juni memang seperti neraka. Tak ayal, kebanyakan dari pegawai mengenakan pakaian tipis yang sejuk. Sementara, Salsa malah mengenakan sweater panjang yang bahkan kerahnya menutup leher.
"AC di kantor dingin. Gue nggak kuat dingin, Nay." Salsa beralasan
Perempuan yang masih berusia dua puluhan awal itu kini hanya bisa mengangguk walaupun wajahnya tampak terlihat tak percaya.
"Ngomong-ngomong, nanti meeting sama Pak Restu jam berapa, ya?" tanya Salsa mengalihkan canggung saat keduanya sampai di area kerja.
"Jam sepuluh, Mbak. Katanya, mau ngomongin soal Adhyaksa, deh!" ucap Naya mengangkat bahu.
Salsa melirik jam tangannya. Masih ada satu jam lagi sebelum rapat. "Adhyaksa? Kenapa lagi? Mau bikin brand baru lagi terus minta kita urusin grand launching-nya?" Alis Salsa bertaut bingung. Adhyaksa sudah tidak pernah menggunakan jasa Dream Sky—tempat Salsa bekerja sekarang ini—sejak dua tahun belakangan.
"Bukan deh kayaknya, Mbak."
"Lalu?"
"Kayaknya, image repairment."
Salsa mengerenyit. Image repairment atau pemulihan citra adalah salah satu upaya untuk melindungi individu, perusahaan atau pihak yang mengalami ancaman terhadap reputasinya. Lalu, ada apa dengan reputasi Adhyaksa?
"Sepertinya, belum ada kasus apapun dari perusahaannya," tanggap Salsa bingung.
"Emangnya, Mbak nggak tahu yang lagi ramai kemarin?" Naya mengambil ponsel Blackberry-nya sambil membuka aplikasi media sosial dan menunjuk salah satu cuitan dari aplikasi Twitter yang mengarah ke portal berita. "Ini loh, Mbak. Anak sulungnya Adhyaksa ada yang keciduk transaksi narkoba! Bahkan, tidur sama cewek di bawah umur. Ngeri banget nggak, sih?"
Salsa mengambil ponsel itu dari tangan Naya dan membaca isi berita yang tersaji. Ia menggulir track ball, dan mengerutkan dahi ketika membaca kata per katanya.
Nama Darmantara Adhyaksa Putra tertulis besar di sana. Si sulung generasi ketiga yang digadang-gadang akan jadi pemimpin utama setelah ayah dan pamannya—Satya dan Aditya—alias Adhyaksa bersaudara 'turun' tahta.
"Kayaknya, sih, mereka mau cari tim crisis management buat corporate image repairment-nya." Naya mengangkat bahu saat Salsa mengembalikan ponselnya.
Salsa menghela napas seraya duduk di kursinya. Tak ada kata yang bisa ia keluarkan. Kalau memang ini berhubungan dengan memperbaiki citra perusahaan, maka, pekerjaan ini menjadi tantangan yang luar biasa besar.
"Lagian, aneh deh, Mbak. Kenapa sih orang kaya tuh sukanya berbuat yang iya-iya kayak gini?" sungut Naya masih menggulir track ball-nya. "Padahal, mereka udah banyak duit. Bisa kali nikmatin aja foya-foya. Hih!"
Salsa tertawa pelan. "Namanya juga orang kaya, Nay." Ia menghela napas. "Nih ya, kalau ada dua orang yang nggak perlu lo urusin masalahnya, orang itu adalah artis dan orang kaya. Soalnya, mereka memang suka bikin masalah! Jadi, rugi mikirin mereka!"
"Ya, sayangnya, kita adalah orang yang bekerja mengurusi masalah mereka," timpal Naya sambil tertawa. "Sedih banget!"
"Yah, nggak apa-apa, selama dibayar." Salsa menjawab enteng. "Lagian, yang kita selamatin kan perusahaannya, bukan orangnya."
"Tapi, kalau orangnya gimana?"
Salsa mengangkat bahu. "Ya, apes! Tapi, jarang banget nggak, sih, kalau personal pasti perusahaan, lah!" Tangan Salsa terkibas dengan percaya diri.
Kepercayaan diri yang rupanya melumat Salsa ketika ia tahu apa yang menghadangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...