Kalau kamu pencet notifikasi langsung ke sini. Coba cek udah baca bab yang sebelumnya (bab 28) belum. Soalnya kalau nggak, pasti bingung.
*
"Salsabilla Anjani Wibisono."
Salsa menahan napas ketika Darma menyebut namanya hingga ke ujung. Nama yang bahkan sudah ditanggalkan Salsa sepuluh tahun lalu. Perempuan itu menatap Darma yang beranjak dari meja kerja menuju ke arahnya. Lelaki itu tersenyum dengan raut yang berbeda.
"How do you do? It's been... what? Ten years since the last time we saw each other, right?"
Salsa terhenyak. Ia mengambil napas berat. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Di usianya yang masih remaja, hidupnya terbalik dengan begitu cepat. Ayahnya yang merintis usaha konstruksi baru saja mendulang kesuksesan berkat proyek pembangunan-pembangunan yang terjadi secara signifikan di Indonesia—terutama Jakarta.
Ketika SMP, Salsa pindah dari Purwodadi—sebuah kota kecil dekat Semarang—bukan ke Semarang tetapi langsung ke Jakarta. Ia tinggal di rumah besar, masuk ke sekolah bergengsi dengan mobil yang saat itu belum dimilikisemua orang seperti saat ini.
Tak lama setelah itu, proyek terus berdatangan. Usahanya semakin maju. Pernah satu titik waktu di usianya yang masih belasan itu, menghadiri salah satu soiree di sebuah rumah besar menjadi makanan Salsa setiap minggu—atau setidaknya setiap bulan.
Dan di sana, ia bertemu dengan sosok itu. Darmantara Adhyaksa Putra.
Kontras dengan anak-anak lain yang meriung, berkumpul dan bermain di salah satu sisi, Darma tidak bergabung di sana. Sebaliknya, lelaki itu malah bersisian dengan orangtua-orangtua lain, ikut mengobrol seperti tahu segala macam. Padahal, mereka baru di awal belasan.
Salsa tidak mengerti, mengapa hanya Darma yang berada di sana, sementara para anak-anak Adhyaksa lain ikut bermain dan bercengkrama dengan anak-anak lain sebaya mereka. Selama di pesta, Salsa hampir tak pernah mengobrol dengan Darma sama sekali. Lelaki itu terlalu serius dan Salsa tak ingin berinteraksi dengannya sama sekali.
Hanya satu kali, ketika usia mereka mulai memasuki usia akhir belasan. Ketika satu per satu anak-anak sosialita itu mulai beranjak enam belas atau tujuh belas dan mulai menjadi pendamping ayah ibu masing-masing seperti Darma, yang memulai aktivitas itu pada usia awal belasan.
Salsa juga demikian. Ia bersitatap dengan Darma secara dekat ketika menjadi pendamping ayah dan ibunya. Mulut dua anak itu terkunci, sementara para orangtua sibuk berceloteh hal-hal tidak penting. Yang mereka lakukan hanya berbicara lewat pandangan, sama-sama menyuarakan bosan yang tak tertahankan.
Salsa rasanya ingin muntah mendengar semuanya. Ia ingin bergosip dengan Tiara—salah satu putri dari pengusaha telekomunikasi—yang sama-sama suka travelling. Mereka berencana pergi ke Eropa sebagai perayaan kelulusan SMA beberapa bulan lagi. Atau, dengan Bastien, laki-laki tampan blasteran Perancis - Indonesia yang punya senyum manis dan selalu menawan.
Yah, siapa saja selain diam di sini bertatapan bodoh dengan Darma yang terlihat begitu serius dan bisa merespon obrolan dengan sangat baik. Bahkan ketika obrolan basa-basi seperti, "Oh, Salsa itu lahir di tahun kelinci, toh. Darma di kambing. Berarti lebih tua Salsa, ya?"
Pembicaraan basa-basi itu akhirnya berakhir dan Salsa harus mengikuti ayah ibunya berjalan untuk bertemu tamu lain. Namun, belum berjalan jauh, seseorang memegang tangannya.
Darma. Untuk pertama kalinya, ia melihat lelaki itu tersenyum. "Gue tahu kamu bosan dan mau semuanya berakhir," ucap laki-laki itu. "Tapi percaya sama gue, mungkin, lo akan lebih senang berdiri mati bosan di sebelah orangtua lo daripada nggak merasakannya sama sekali. See you, Little Rabbit." Tanpa menunggu jawaban Salsa yang kebingungan, Darma melepas tangannya lalu berjalan ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...