Salsa meremas angin di bawah meja. Ia mengambil napas. Rasa gugup menjalar hingga ke kepala. Di hadapannya tampak Satya, Aditya dan Darma duduk bersebelahan. Di sebelah Salsa, ada Andin—Head of Corporate Communication Perusahaan Adhyaksa—yang ikut duduk bersama mereka.
Kali ini, setelah beberapa hari, Salsa akhirnya menunjukan apa-apa saja strateginya dalam pembenahan nama Darma. Sementara Andin menangani bagian pembersihan nama korporat bersama tim dari Red Blue sebagai bala bantuan, maka Salsa secara praktikal mengerjakan semuanya sendiri. Walau memang pekerjaannya lebih santai karena tidak seterburu-buru itu, namun, ia tetap punya tanggung jawab membenahi reputasi Darma.
"Selama hampir dua minggu ini, saya menunggu apakah sentimen terkait Pak Darma menurun dengan sendirinya atau tidak. Memang, berita negatifnya cukup menurun—thanks to Mbak Andin and team—tetapi, di media sosial dan forum-forum, banyak orang masih merasa Pak Darma sebagai seseorang yang melecehkan anak di bawah umur."
Salsa memberikan laporan media monitoring-nya yang sudah ia lakukan selama ini.
"Saya memang memberikan laporan daily terkait apa-apa saja yang terjadi, namun jika bisa saya simpulkan selama ini, sepertinya, kita butuh take action lebih lanjut." Salsa berucap lagi.
"Press-con?" Suara Darma menggema. Ia menyela Salsa.
Kepala Salsa menggeleng. "Saya rasa, belum ada urgensi yang cukup untuk melaksanakan konferensi pers. Karena, keadaannya belum segenting itu." Ia berkata mantap. "Kita cukup mengirim rilis saja ke beberapa media. Kebetulan dari tim Mbak Andin ada koneksi ke beberapa media nasional juga kan, ya? Kita bisa manfaatkan itu."
Darma mengangguk. Ia kembali menghadap ke layar sementara, Salsa menekan tombol lanjut pada komputer.
"Setelah berdiskusi dengan Mas Kresna terkait kasus yang berjalan, ada beberapa poin yang bisa kita sampaikan di rilis media. Juga, beberapa hal terkait apa-apa saja yang harus Pak Darma lakukan."
Di layar, terpampang poin-poin yang menjadi pokok bahasan rilis media.
"Mungkin, Bapak-Bapak sekalian sudah membaca dummy release yang sudah saya print, tapi, berikut poin-poin pesan yang bisa disampaikan pada media bahwa menurut Mas Kresna sebagai kuasa hukum, sampai saaat ini, Pak Darma hanya bertindak sebagai saksi. Selain itu, hasil tes urin menyatakan Pak Darma negatif dari narkoba. " Salsa membaca presentasinya. "Dan... Terkait dengan perempuan yang keluar dari hotel bersama Pak Darma saat kejadian..."
Salsa menjeda ucapannya. Ia merasa ada yang salah. Tiba-tiba, dadanya terasa sesak. Matanya melirik Darma yang bewajah datar tanpa ekspresi.
"Terkait perempuan itu, setelah ditelusuri, sebenarnya, perempuan itu—Gina—berusia sembilan belas." Napas Salsa terdengar berat. "Untuk satu ini, kita bisa memberikan sudut pandang bahwa Pak Darma tidak tahu terkait dengan hal tersebut dan memposisikan diri Pak Darma sebagai korban penipuan lalu menyatakan akan bekerja sama untuk penyelidikan tersebut."
"Kamu yakin mau menulis begini, Salsa?" Suara Satya menggelegar. "Ini sama saja menabuh genderang perang dengan Alisastra."
Salsa melirik ke arah Darma sejenak. Keduanya sama-sama bertatapan. Pandangan Darma berubah. Sesuatu yang tak bisa Salsa deskripsikan.
"Sebenarnya, sejak awal, mereka sudah lebih dulu memantik perang tersembunyi. Saya mencoba menghubungi tim PR mereka, namun mereka enggan membantu dan sengaja menyeret Pak Darma ke dalam kasus ini tanpa membantu sama sekali." Salsa menarik napas. "Dan setelah berdiskusi dengan Pak Darma, kami berada pada kesimpulan ini."
Satya dan Aditya sontak menengok Darma yang tersenyum miring. Lelaki itu sama sekali tak gentar. Sebagai gantinya, ia memajukan tubuh. "Kenapa?" tanyanya menantang. "Kenyataannya memang begitu. Aku sama sekali nggak tahu kalau cewek itu masih di bawah 21 tahun dan aku dijebak. Mikha yang nyodorin cewek itu."
"You should have not been there at the first place, Darma." Satya berkata dengan helaan napas. Ia menatap ke arah Salsa. "Kamu nggak punya pilihan lain?"
"Saya bisa mencoret poin terakhir itu, membiarkan mengambang dan—"
"—Coret kalau begitu." Suara lain terdengar. Aditya. "Saya nggak mau menambah masalah dengan menuduh mereka menipu Darma. Salah anak ini karena nggak hati-hati."
Darma mendengkus. Kalau pamannya yang sudah bersuara, tidak ada yang berani membantah. Anggukan Salsa membuat Darma mengendurkan bahu. Ia sadar, Salsa tak mungkin mendebat.
"Draf final akan saya kirimkan ke Bapak-Bapak sekalian paling lambat sore ini. Setelah oke, baru saya kirimkan ke media-media terkait," tutup Salsa.
"Pastikan selesai sebelum DigiPro launching ya, Salsa. Setidaknya, lebih redam," pesan Aditya.
Salsa mengangguk mengiyakan. Tak lama setelahnya, Satya dan Aditya langsung keluar meninggalkan ruangan. Andin menyusul, meninggalkan Salsa dan Darma di dalam ruangan.
Keduanya lagi-lagi berpandangan. Salsa tersenyum kecil. Ia sengaja tidak keluar karena mau mengerjakan rilis itu sekarang juga agar tidak lupa dan malah keteteran.
Dari sudut matanya, Salsa melihat Darma sama sekali tak beranjak. Ia malah duduk dengan berpura-pura membaca rilis.
"Gimana run through-nya kemarin?" tanya Salsa memecah canggung.
Darma menghela napas. Tak ada pembicaraan sesudah pertemuan mereka akhir pekan itu. Tak ada pesan yang ditukar juga. Darma yang terlampau sibuk dengan segala macam pekerjaannya membuat mereka sama sekali tidak bertemu tiga hari lamanya. Sekarang, sudah hari Kamis.
"Gitu, aja. Yah, better lah!" Darma menjawab dengan helaan.
Salsa mengangkat alis. "Marah-marah lagi?"
"Menurut lo?"
Desisan terdengar dari bibir Salsa. "Berarti, ngamuk-ngamuk lagi."
Darma tak menjawab. Sebagai gantinya, ia berpindah ke sebelah Salsa. Lelaki itu tiba-tiba meletakan kepalanya di bahu Salsa. Napasnya terasa di leher perempuan itu. Dadanya kembang kempis seperti orang habis lari maraton.
"Capek banget, Sa," keluhnya. "Capek banget sampai nggak tahu harus apa. Gue capek marah-marah, gue capek untuk selalu jadi orang jahat, gue capek banget!"
Salsa mendiamkan Darma. Ia berusaha untuk fokus merangkai kata-katanya. Namun, fokusnya terpecah. Kalimat-kalimat Darma seperti belati untuknya.
"Orang-orang menganggap gue pemimpin yang suka marah-marah, anak-anak om Aditya mungkin menganggap gue sebagai perebut hak mereka, lalu sekarang, gue jadi tertuduh dalam kasus pelecehan seksual anak di bawah umur, keluarga gue nganggep gue sebagai biang masalah, dan satu Indonesia raya mencap gue jelek." Darma mendesah keras.
Salsa tak menjawab. Bukan karena tak ingin, tetapi, lidahnya kelu. Rasanya, beban Darma begitu berat dan Salsa tahu, Darma hanya ingin didengarkan, dan itu Salsa berikan. Telinga untuk mendengarkan keluh kesah Darma dan bahu untuknya bersandar sejenak dari dunia yang menuntutnya untuk tegak berdiri.
"I'm a villain for everyone, right?"
Salsa melepas jari-jemarinya dari papan tik seusai mengetik kata terakhir di rilis dan menyimpan hasil kerjanya. Wajahnya menengok ke arah Darma yang melirik dari bawah. Lelaki itu tiba-tiba mengangkat wajahnya, sedetik dua detik kemudian, Darma mencondongkan tubuh, menempelkan bibirnya pada bibir Salsa. Hanya sebentar sebelum senyum lebar tampak terulas dari bibir Darma.
Lelaki itu mengulurkan tangan, kembali meletakan keningnya di bahu Salsa dan memeluk pinggang sang puan seperti anak kecil.
Napas Salsa terhela. Ia memandangi Darma dengan kebingungan dan jantung berdebar tak keruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...