32. Acceleration Due To Gravity

18.1K 1.8K 63
                                    

Suara aduhan mengisi ruangan sepi di rumah Darma sore ini. Awalnya, sepulang dari pengadilan, Darma ingin mengajak Salsa ngopi sore di salah satu kafe di Plaza Indonesia. Merayakan satu pengadilan yang telah selesai. 

Tetapi, dirinya malah terjebak perkelahian dengan Ben. Cukup untuk membuat keduanya diamankan. Berakhir dengan Darma yang mengalami luka-luka walaupun tidak begitu serius.

Di sebelah Darma, tampak Salsa yang begitu serius mengobati luka-lukanya. Padahal, hanya bibir robek dan pipi lebam. Oh, dan satu luka ringan di pelipis. Seharusnya, Salsa tidak perlu segitu khawatirnya. Tetapi, Darma membiarkan perempuan yang lebih tua darinya itu berbuat sedemikian rupa. Ia rasa, diobati Salsa dengan jarak sedekat ini tidak buruk juga. Nah, this might be better than some cups of coffee and croissants.

"Lo harusnya nggak ngeladenin dia, Dar!" Salsa mendumal sambil mengoles alkohol untuk membersihkan luka di pelipis Darma. "Nggak ada gunanya."

"He called you a slut and a cheater!" balas Darma. "Gue nggak terima."

"But I am a cheater, Dar."  Suara lemah itu terdengar.

Darma menoleh. Ia menatap Salsa dengan mata memicing sebelum menggeleng pelan. "Sa..."

"I cheated on him. I slept with you. We kissed while I am still his wife." Salsa membeberkan fakta-fakta yang bisa ia berikan. 

His wife. Darma mengambil napas. Ada rasa sesak ketika mendengarnya. "You are mine, Sa," ucapnya serak.

Salsa melirik. "Not yet, Darma." Ia menarik napas. "Gue bahkan sedang selingkuh hati sekarang ini karena punya perasaan sama lo. Walaupun, perasaan gue ke dia udah mati, nggak tahu sejak kapan."

Darma menangkap raut sedih di wajah Salsa. Raut yang ingin sekali Darma hapus secepatnya. Apapun. Darma akan melakukan apapun yang bisa membuat Salsa bahagia.

"Untung aja lo nggak dibawa masuk lagi ke pengadilan buat diadili," ucap Salsa asal saat akhirnya menempel plester terakhir di dahi Darma.

Darma terkekeh. "Ya, nggak mungkin langsung ke pengadilan, kali!" Ia menggeleng. "Lagian, puh-lease... lo lupa serepot apa untuk ngejadwalin pengadilan, Mbak Salsa?"

Salsa mendecih sambil menutup kotak P3K dan meletakannya di atas coffee table yang terbuat dari kaca. Ia menatap Darma yang dengan santainya sudah kembali dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali mengerutkan dahinya yang tertempel plester. 

Salsa tak marah atau merasa diabaikan. Seharian sudah Darma meninggalkan seluruh pekerjaannya demi Salsa. Walaupun menggunakan hak cutinya, dengan keadaan genting untuk pembukaan DigiPro, Salsa yakin, banyak hal yang harus Darma urus. 

Ringisan tedengar seraya ia membalas beberapa pesan yang masuk. Salsa tengah mengira-ngira kapan Darma akan mulai mengumpat. Pasalnya, wajah Darma mulai berangsur-angsur berubah sebal dan menandakan ada masalah yang terjadi.

"Sa, bentar, ya?" Darma menyadari Salsa yang memerhatikannya. Saat ini, Darma sudah menarik MacBook-nya yang terletak di atas meja. 

Salsa menggeleng. "Kerjain aja, Dar. Gue seharian ngerepotin lo, kerjaan lo pasti berantakan." Ia berdiri sebagai gantinya. Perempuan itu berjalan berkeliling.

Pertama kali ke rumah besar ini, Salsa tidak mengeksplorasi apapun karena takut dan bingung. Kali ini, ia bisa berkeliling sesukanya.

Pandangan Salsa pada rumah itu masih sama: besar, sedikit tua dengan sentuhan dekorasi batu alam dan marmer bernuansa kuning gading, cokelat dan hijau. Padahal di jaman sekarang ini, rumah-rumah mulai menerapkan desain minimalis dengan warna monokrom putih, abu dan hitam.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang