22. What Love Means

18K 1.8K 47
                                    

Saat ini, di dalam ruangan tertutup itu, hanya ada mereka berdua. Darma masih diam dalam posisinya, memeluk pinggang Salsa dalam posisi menyamping sambil menunduk dan meletakan keningnya di bahu Salsa. Ia membiarkan dirinya berada di sana sejenak dengan pundak naik turun.

Tangan Salsa terangkat sejenak. Ia mengulurkan tangannya dengan ragu ke arah rambut hitam tebal milik Darma. Ia memberikan belaian lembut pada puncak kepala Darma, sementara, lelaki itu tampak memejamkan mata menikmati usapan yang diberikan Salsa.

It feels so soothing. Darma semakin mempererat pelukan dan memperkecil jarak.

"Kenapa ya, rasanya, nyaman banget kalau ada di sebelah lo, Sa?" tanya Darma seperti orang mengawang. "Gue bisa cerita apa aja, bisa ngobrol apa aja, kita baru kenal kan, ya? Tapi, gue malah nggak terhitung berapa kali ngerengek-rengek di depan lo kayak sekarang. Sementara, lo malah masih menganggap gue asing dan nggak membuka diri sama sekali."

"Hidup gue nggak penting-penting amat, Dar. Nggak kayak lo yang pegang posisi ini itu," ucap Salsa beralasan.

Darma mencibir. Ia sekali lagi mendongak. "Tapi, kok gue selalu merasa banyak hal yang terjadi di hidup lo, ya?" Lelaki itu menghela napas.

Salsa membuang pandangan. Jarak wajahnya dengan Darma begitu dekat. Wajahnya memerah dan ia jadi sedikit salah tingkah dibuatnya.

"Seenggaknya lo bisa cerita soal apa yang terjadi sama lo dan mantan lo, Sa. I'm dying to know about that," tambah Darma lagi.

Kalimat itu menyentak Salsa. Ia melirik ke arah Darma.

"Dan kalau lo memperbolehkan, rasanya, gue mau bales mantan lo itu sampai babak belur, Sa. Your body is deserved to be worshipped and not to be hurted like that!"

Salsa mengulum bibir. Darma masih membahas hal itu rupanya.

"Masih sakit, nggak? Masih bekas, nggak?" tanya Darma lagi.

"Uhum..." Salsa menggeleng. "Nggak kok, udah nggak apa-apa."

Dagu Darma terangguk. Ia mengambil napas. "This is weird."

Salsa kembali diam. Ia menarik napas. Sebagai gantinya, ia kembali mengambil laptop dan berfokus pada layar. Ia rasa, ia harus mengirim rilis terlebih dahulu. Darma masih dalam posisi memeluknya. Hal itu sedikit mengganggu mobilitasnya, tetapi, Salsa masih bisa mengerjakan pekerjaannya.

Sekilas, Darma menggerakan leher. Ia seperti mengintip apa yang Salsa kerjakan. Mulutnya terkunci ketika Salsa mengetik surat yang ditujukan untuk Aditya, Satya dan Andin. Darma seperti membiarkan Salsa mengerjakan tugasnya dan tidak mengganggu sampai selesai.

"Dar, menurut lo, cinta tuh apa?" Tiba-tiba, kalimat tanya itu terlontar begitu saja di bibir Salsa seraya tangannya menekan tuts enter untuk mengirim pesan.

Darma mengerutkan dahi. Ia terlihat berpikir. "Apa, ya?" Nada ragu terdengar di sana. "Menurut gue, cinta itu ada banyak jenisnya. Dan, banyak tingkatannya."

"Contohnya?"

"I love Dhisty and Wira." Darma berkata cepat. "But, it's not romantic love, it just, a family love one. I have no passion on them, it just, I want to protect them, cherish them, but that's it."

Salsa tersenyum tipis mendengar Darma.

"Sementara, cinta yang orang-orang agungkan adalah cinta romantis dengan hasrat. Cinta yang eksklusif cuma diberikan untuk satu orang. You want to protect that person, you want that person to be happy, you want that person to be the only one in your life, and at the same time, you want to embrace her, kiss her, make love with her. Rasanya, berbeda." Darma mendesah. "Ya, biarpun semua itu rasa-rasanya cuma teori aja, sih!"

"Hm? Teori? You have not been falling in love, huh?"

Tawa kecil Darma terdengar. Ia menggeleng. "Cinta anak remaja, mungkin. Suka-sukaan pas SMA atau kuliah. Tapi, ya, just a crush, naksir karena ceweknya cantik, turns out ceweknya bangsat." Ia menertawakan nasibnya sendiri. "Setelah beberapa kali punya pacar brengsek, gue berhenti menaruh harapan kalau suatu hari akan ada yang mencintai gue dengan tulus tanpa melihat status atau harta keluarga gue atau apapun itu." 

Salsa merasakan getar kecil. Seperti amarah dan kekecewaan yang bertumpuk. Semuanya terasa mengalir dari mulut Darma. Tertransmisi ke dalam Salsa yang tak bisa berbuat apa-apa.

"Gue mematikan tombol mati di hati gue sendiri. So, I will not fall in love ever again. Kalau ngelihat cewek cantik ya,  I just want to make it to the bed and that's it. Lama-lama malah jadi kebiasaan. Setiap kali tidur sama cewek, it feels like, I feel loved. Pathetic, right?" Darma mendesah keras-keras. "Tapi ya, that's it.  Hubungan itu akan berakhir di sana. Karena, kalau orang-orang tahu siapa gue, biasanya, mereka akan merengek minta balik. Bukan karena cinta, tapi karena uang."

"So, you are not down for serious relationship, huh?" simpul Salsa.

"Not really. Gue nggak membatasi diri seperti itu. But well,  I wish I could find a woman that loves me for who I am. Yang bisa ada di titik terendah gue, yang bisa jadi penguat gue. Di saat gue ketemu orangnya, mungkin, gue akan kembali membuka hati dan membiarkan diri gue sendiri jatuh sedalam-dalamnya." Darma tertawa. "I don't know, I am still searching for the one. THAT ONE."

Salsa mengangguk-angguk paham. Perasaan ragu itu sedikit banyak dirasakan Salsa. Setelah Ben, rasa ingin kembali jatuh dan mencintai itu terasa menakutkan.

Darma kembali mendongak. Mata keduanya lagi-lagi bertemu. Untuk kedua kalinya, Darma mengangkat wajahnya ke atas, ia menarik Salsa dan memagut bibir perempuan itu untuk kedua kalinya.

Untuk yang kali ini, ciuman itu berbeda. Ini bukan ciuman ringan sepersekian detik. Ada emosi yang terasa dalam cecapannya. Emosi yang tidak bisa didefinisikan. 

Rasa berdebar kembali menyergap. Seisi perut Salsa mengamuk. Perasaan ini bahkan tak pernah Salsa rasakan pada Ben sebelumnya.

Ciuman yang mengaburkan akal sehat Salsa. Ciuman yang membuat semuanya berputar.

Salsa tahu semua itu salah. Palu belum diketuk, ia masih istri sah Ben. Ini sama saja seperti perselingkuhan. Tetapi, tubuh Salsa beku. Ia tidak bisa mendorong tubuh Darma menjauh namun malah menarik Darma untuk memperdalam ciuman.

Darma melepas pagutannya saat ponsel di atas meja bergetar. Ia mengumpat dengan suara pelan sebelum mengangkat panggilan.

Salsa memperhatikan Darma sejenak. Untuk sesaat, ia melihat Darma yang tengah menjawab panggilan tak tahu dari siapa. Salsa seharusnya sadar, banyak hal yang masih mengganjal. Darma tak akan pernah jadi miliknya.

"Sa, I'm sorry, gue harus ada meeting lagi." Darma berucap cepat. "Gue nggak bisa nemenin lo di sini."

Salsa terbengong tak percaya. Ternyata, Darma di sini untuk menemaninya?

"Gue duluan, ya?" Tangannya terulur untuk menepuk-nepuk puncak kepala Salsa pelan sebelum beranjak pergi.

"Dar..." panggil Salsa tiba-tiba sebelum Darma keluar dari pintu.

Darma menengok. Ia memandang Salsa sejenak. "Ya?"

"Why did you kiss me?"

"Hah?"

"Why did you kiss me?" ulang Salsa. Ia berharap Darma tidak menyuruhnya untuk mengulang tiga kali.

Senyum miring mengembang dari bibir Darma. Matanya tampak jahil kekanakan. "Cause you are cute," jawabnya ringan sebelum pergi dari ruangan. Kembali meninggalkan Salsa di dalam ruangan itu sembari menepuk pipinya sendiri.

Sadar, Salsa! Sadar! Hei!

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang