⚠️triggered warning: domestic abuse.
Sejujurnya, aku juga agak ke triggered dan berniat meng unpublish bab 5 dan 6 ini lalu kuceritakan nanti jadi narasi singkat kayak wira kemarin.
Aku masih kontemplasi. Jadi, kupublish dulu. Mungkin hari Senin, aku unpub sekalian revisi isinya.
*
Membuka pintu rumah tepat jam tujuh, Salsa nyaris terlompat melihat seorang lelaki tengah duduk di atas sofa. Pandangannya menghunus tajam ke arah sang puan dengan alis terangkat dan wajah marah.
Salsa menghela napas. Ia memcoba bersikap biasa daja. Sebuah senyum ia lemparkan seraya berjalan melewati lelaki itu menuju dapur.
"Loh? Kamu udah pulang, Ben? Katanya jam delapan baru sampai rumah?" Salsa berkata riang sambil meletakan tasnya. "Bentar, ya. Aku ganti baju terus siapin makan malam."
"Begini kelakuan istri yang baik, hah? Kamu bahkan pulang lebih malam daripada aku?"
Kalimat itu membuat Salsa diam sejenak tepat di depan pintu kamar. Ia meremas angin dengan gugup.
Lelaki itu berdecak. Suara tarikan napas terdengar. "Kamu habis dari mana?" tanyanya cepat. "Kenapa teleponku nggak diangkat?"
"Aku ada meeting, jadinya nggak bisa angkat. Tapi, pas selesai meeting dan mau pulang, aku kabarin, kan?" jelas Salsa mencoba membela diri. Sedikit kebohongan terselip di dalamnya. Kalau Ben tahu bahwa meeting Salsa dengan Darma selesai lebih cepat dan Salsa memutuskan untuk bertemu Tia terlebih dahulu, Ben pasti akan mengamuk.
Ben berdiri. Wajah gusarnya tampak terlihat begitu jelas. Ia mengeraskan rahang dengan tangan terkepal.
"Meeting? Yakin?" Nada Ben terdengar tidak yakin. Ada penghakiman di sana.
Salsa tergagap. Ia ingin mengeluarkan suara namun tertahan. Hanya mulutnya yang membuka karena kelu. Ia berbohong.
Ben beranjak mendekat. Tubuhnya mendekat ke arah Salsa yang semakin terpojok. "Bukan selingkuh, kan?"
Mata Salsa jelas membelalak. "Kamu ngomong apa sih, Ben?" Perempuan itu tampak mengerutkan dahi bingung.
Paranoid. Salsa tidak ingat kapan semua itu dimulai. Tetapi, Ben secara perlahan dan stimulan bertindak paranoid terkait isu perselingkuhan. Salsa tidak tahu apa yang membuat Ben punya pikiran demikian. Salsa tidak pernah berselingkuh. Ia tidak pernah main api. Tetapi, semakin hari, intensitas paranoidnya semakin meningkat.
"Ya, kamu yang kenapa? Tiap hari kegatelan mulu!" tukas Ben dengan nada tinggi.
"Aku? Kegatelan? Di sebelah mana?"
Lelaki itu menunjuk-nunjuk Salsa. "Aku bilang pakai baju tertutup! Kamu pakai tanktop gini mau ngapain?"
"Ini aku pakai blazer lagi!" Salsa membela diri.
"Terus kamu buka di kantor?"
"Ya, Tuhan! Ben!" Salsa menepuk dada karena sesak. Ini benar-benar keterlaluan.
"Mau ngapain kamu? Jual diri? Pamer badanmu, hah?" Ben masih berteriak lantang.
Salsa menahan air mata yang akan tumpah. Ia tidak sedih, rasanya lebih frustasi daripada sedih. Ia marah, tetapi tak sanggup meluapkannya. "Pamer badan apanya? Mau pamer sama siapa lagian?"
"Sama temen-temen kamu itu! Nicholas? Ferdinand? Neil?" Ben menyebut nama beberapa lelaki yang membuat mata Salsa membelalak.
"For God's sake! Neil itu teman baikku dari SMA! Dia bahkan sudah punya istri!" Salsa berucap dengan nada tinggi. "Dan udah tinggal di Bandung juga! Nggak di Jakarta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...