9. Expectation on His Shoulder

22.2K 2K 56
                                    

Darma mendesah keras ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Lelaki itu berdiri dari kursi. Rapat dan persiapan tanpa henti sudah dilakukan sejak bulan lalu. Sayangnya, banyak kerikil kecil yang menghadang termasuk reputasinya.

Ia merenggangkan ototnya. Seisi kantor sudah sepi. Ia yakin, tinggal dirinya di sana. Notifikasi telepon yang tidak terjawab  memenuhi ponsel berserta dengan pesan dari Adhisty bahwa keluarga besar mereka sudah menunggu untuk makan malam bersama.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tetapi tiba-tiba ada makan malam. Darma yakin, malam ini mereka akan membahas terkait permasalahan Darma.

Dengan langkah menyentak, Darma berjalan ke arah mobil dan melajukan kuda besi itu menuju salah sebuah restoran di daerah Menteng. Matanya bertemu dengan seisi keluarganya yang lain ketika sampai di salah satu ruangan privat yang mereka gunakan. Tatapan itu terasa mencekam, menyiratkan tuduhan demi tuduhan.

Darma menghela napas sambil duduk dengan memijat pelipisnya sendiri ketika berhadapan dengan hampir seisi keluarga. Bukan cuma Adhisty dan Wira, atau kedua orangtuanya. Tetapi ada Aditya dan ketiga anaknya duduk di ruangan besar itu. Hanya kurang Kinanti—kakak perempuan ayahnya yang tidak mencampuri urusan Adhyaksa sama sekali lantaran ikut suaminya.

Walaupun dikemas seperti acara makan malam dua keluarga kakak-beradik, Darma tahu, ia akan diadili. Cara Aditya menatap Darma begitu berbeda. This is insane. Darma tidak pernah datang ke pengadilan keluarga sebesar ini.

Gosip tetap menggulung. Semua orang melabeli Darma sebagai orang tidak bermoral. Tidak ada yang mau berhubungan dengan Darma walaupun posisinya di Adhyaksa tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa orang lain yang sudah menanamkan modalnya memilih hengkang. Alasannya sama, reputasi Darma sedang diujung tanduk.

Banyak stakeholder yang meragu, banyak juga yang terpengaruh dengan apa yang diberitakan. Orang-orang itu takut terseret dengan tuduhan yang sama. Tuduhan yang sama sekali tak berdasar untuk Darma. Ia juga korban. Kenapa semua orang malah menganggapnya sebagai orang jahat begitu?

 Darma tidak bisa menyangkal apapun. Sejujurnya, ia bahkan tidak tahu siapa saja dan berapa umur orang-orang yang tidur dengannya. Tetapi, yang ia bisa pastikan, ia tidak punya niatan ke arah sana. Sayangnya, siapa yang percaya kalimat itu? Sampai mulut Darma berbusa pun rasanya, tidak akan ada yang mempercayai omongannya. 

"Jadi nge-hire personal PR buat Darma?" tanya Aditya membuka topik yang menyinggung permasalahan tersebut.

Darma menegang. Sebagai anak sulung dan kakak dari ayahnya, Aditya memang punya sifat yang keras. Ia sejak dulu digembleng untuk jadi pewaris pertama keluarga Adhyaksa. Sialnya, ia keduluan menikah oleh Satya. Sial laginya, ia keduluan punya anak. Lebih sialnya, karena anak pertama  Aditya adalah Gayatri—seorang perempuan—dan anak pertama Satya adalah Darma—seorang laki-laki. Membuat garis "tahta" berubah dengan instan mengingat betapa patriarkisnya keluarga ini.

Walau persaingan itu terasa begitu halus dan dicoba untuk diredam, kenyataan bahwa Darma dan Gayatri selalu diadukan head to head sering terasa begitu nyata. Kinerja mereka paling sering dibandingkan, apapun yang mereka lakukan akan disandingkan.

Darma mengerti kenapa pamannya itu bisa jadi gila. Karena kalau kenyataan bahwa dilangkahi menikah dan anak sulungnya adalah perempuan itu belum cukup, Aditya hanya punya satu anak laki-laki. Si bontot, Ramdan, yang usianya terpaut sedikit jauh dengan Gayatri. Belum lagi Kartika yang berulah dan tidak ingin masuk ke dalam perusahaan keluarga.

Sementara, Satya punya dua anak lelaki. Selain Darma, ada Wira di sana. Dan tidak ada yang berulah dalam keluarga itu sama sekali. Adhisty sudah mengambil alih beberapa lini perusahaan sejak empat tahun lalu.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang